Last Birthday

277 23 0
                                    

Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, Gandhi sudah menenteng kue, peralatan pesta, serta kado ulang tahun untuk Rin berupa sweater hangat berwarna pink yang manis.

Senja yang membantunya memilihkannya. Gandhi tidak sabar membayangkan reaksi Rin ketika mereka berdua memberikan surprise ini padanya.

Sudah lama Gandhi tidak melihat Rin tersenyum. Kondisi penyakit adiknya itu kian parah dari hari ke hari. Hati Gandhi sakit setiap kali menemukan Rin yang berusaha keras menahan sakitnya. Gandhi berharap, pesta kecil-kecilan ini bisa sedikit menghibur dirinya.

Gandhi melempar pandangannya pada Senja yang berjalan beriringan dengannya. Tampaknya ia sudah melupakan pertengkaran mereka sebelumnya di sekolah.

Senja sekarang terlihat sama antusiasnya dengan dirinya. Sepertinya, sore itu akan menjadi hari yang menyenangkan bagi mereka bertiga.

Namun sesampainya di depan pagar rumahnya, Gandhi mendapati pemandangan yang tidak seperti biasanya. Pintu pagarnya terbuka lebar dan tidak terkunci sama sekali. Aneh. Tidak biasanya Rin bersikap ceroboh seperti ini.

"Riiinn..."

Senja berlari lebih dulu menuju kamar Rin. Ingin bergegas memberikan lukisan hasil karyanya, yang sudah diselesaikannya di sekolah pada sahabatnya.

Sementara Gandhi yang baru berjalan dua langkah setelah mengunci pintu pagar, dikejutkan dengan jeritan Senja yang terdengar begitu keras.

"AAAAAARGH!"

Detik itu pula, jantung Gandhi serasa berhenti berdetak. Mendadak ia seperti merasakan sebuah firasat buruk.

Tidak.

Jangan.

Jangan sekarang.

Pikiran Gandhi melayang ke kemungkinan paling buruk yang bisa terjadi. Tapi ia sungguh berharap apa yang terlintas di pikirannya itu tidak benar, karena ia tidak akan sanggup untuk menerimanya.

Tanpa banyak berpikir lagi Gandhi langsung melesat ke dalam rumah untuk menyusul Senja. Namun apa yang ditemukannya kemudian membuat Gandhi hampir terduduk lemas.

Senja tengah terisak-isak di lantai kamar mareka. Di sebelahnya, Gandhi mengenali sosok adiknya yang terbaring setengah sadar.

Gandhi masih bersikap tenang, berusaha untuk tidak panik. Ia mengambil tindakan cepat untuk membalikkan tubuh adiknya dengan hati-hati. Mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pipi Rin perlahan.

"Bangun, Rin."

Dalam pikirannya yang kalut Gandhi tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini serangan ini semakin sering terjadi. Baru kemarin adiknya itu mengalami sesak napas dan batuk berdarah yang parah, sekarang ia mendapati Rin dalam kondisi pingsan tak berdaya.

Memang bukan pertama kalinya Rin kolaps tak sadarkan diri seperti ini. Tetapi yang dirasakannya selalu sama. Rasa ketakutan akan kehilangan seseorang, yang mana dirinya tidak pernah siap untuk menghadapinya.

Gandhi sungguh berharap kalau ini hanya serangan biasa yang akan berlalu seperti sebelum-sebelumnya. Sayangnya meski Gandhi telah berulangkali memanggil namanya, Rin tetap tidak mau bangun dari tidurnya.

"Rin... bangun, Rin."

Senja turut mengguncang-guncang tubuh Rin, dengan nada memohon yang sudah dikuasai oleh tangis.

Gandhi bersumpah demi Tuhan kalau ia melihat Rin masih bernapas. Denyut nadinya juga masih terasa, meskipun amat sangat lemah. Berikutnya Gandhi merasakan Rin perlahan-lahan mulai membuka matanya yang berkaca-kaca, setengah tersadar menatap sosoknya.

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now