Scars

225 22 0
                                    

Kalau kekasihnya itu masih mengacuhkannya, yang terjadi pada Senja juga tidak jauh berbeda dengannya. Sejak 'kecelakaan' malam itu, Senja masih tidak mau bicara padanya.

Gandhi mulai mengkhawatirkannya dengan mengetuk pintu kamar Senja. Gadis itu sudah terlalu lama mengurung diri di kamarnya. Apalagi menurut laporan bi Minah, sudah dua hari Senja tidak menyentuh makanan yang ditinggalkan di bawah pintunya.

"Ja... buka pintunya, Ja. Kita harus bicara."

Benarkah?

Apa yang harus mereka bicarakan?

Hey, I'm sorry. I don't mean to f*cked you last night. We're both okay, right?

Apa itu yang akan dikatakannya? Gandhi mengacak-acak rambutnya sendiri. Masih tidak tahu bagaimana caranya menyelesaikan permasalahannya satu ini yang lebih rumit dari operasi yang paling sulit sekalipun.

Gandhi sadar mereka memang sudah tidak bisa lagi kembali ke awal. Ia telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang tak dapat termaafkan. Sungguh, Gandhi rela melakukan apa saja untuk menarik kembali perbuatannya. Tapi percuma, semuanya sudah terlambat.

Sementara dari balik pintu, Senja menutup telinganya ketika ketukan itu terdengar semakin keras. Sejak dulu Senja membenci apabila seseorang menggedor-gedor pintu kamarnya, karena biasanya hanya ada hal buruk yang terjadi setelahnya.

"Ja? Kamu ngapain? Kenapa dikunci pintunya? Kamu nggak pa-pa? Buka pintunya, Ja!"

Teriakan Gandhi dari luar semakin membuat kepala Senja serasa mau pecah. Cukup. Ia tidak tahan lagi.

Ternyata rokok, minuman, serta bersenang-senang di klub malam tidak bisa mengisi kekosongan yang ada hatinya. Terlebih lagi setelah apa yang dilakukannya dengan Gandhi malam itu. Semuanya semakin mengacaukannya dan Senja tidak tahu bagaimana lagi supaya ia bisa tetap waras.

Cuma ini satu-satunya yang bisa menolongnya.

Entah dari mana datangnya, Senja mengeluarkan sebilah pisau yang dicurinya dari dapur bi Minah. Bibi tua baik hati itu sama sekali tidak menaruh mencurigainya. Senja jadi merasa sedikit bersalah padanya. Tapi ia juga menyadari kalau tidak punya banyak pilihan sekarang.

Senja harus melakukannya. Kalau tidak, ia akan benar-benar gila.

Digoreskannya pisau itu di lengan kirinya sampai menorehkan garis panjang yang disertai dengan darah segar. Satu... dua... tiga... sampai Senja tidak ingat sampai mana ia menghitungnya.

Melihat darah yang menetes satu demi satu dari lengannya, entah mengapa bisa begitu menenangkan dirinya. Perlahan-lahan Senja bisa melupakan setiap kebusukan yang ada di hidupnya, juga semua masalah yang datang padanya.

"Ja? Buka pintunya! SENJA!!"

Oh f*cked.

Senja tidak sadar mengiris tangannya terlalu dalam, sampai mengenai nadinya.

F*cked! F*cked! F*cked!

Sekarang darahnya mengucur semakin deras dan ia tidak bisa menghentikannya.

What have I done?

Senja mulai merasa lemas dan kehilangan kesadarannya. Bersamaan dengan Gandhi yang berhasil mendobrak pintunya, menemukannya tergeletak di lantai kamarnya dengan bermandikan darahnya sendiri.

***

Senja masih mengingat pertama kali ia melakukannya. Hari itu adalah hari dimana ia dipaksa untuk melayani pelanggan pertamanya.

Setelah melakukan hal yang paling menjijikkan dalam hidupnya yang bahkan tidak sanggup untuk diingatnya, mereka mengurungnya di sebuah ruangan. Senja berteriak, menangis, dan melempar apa saja yang ada di hadapannya.

Tetapi tidak ada seorang pun yang datang menolongnya.

Tanpa sengaja, lengannya terantuk lemari besi yang menggoresnya sampai mengeluarkan darah. Senja termenung memandanginya. Lama.

Herannya, ia sama sekali tidak merasa sakit.

Penasaran dengan apa yang terjadi padanya, Senja mengambil bolpoin di antara benda lain yang berserakan di dekatnya. Tanpa pikir panjang, ia menusuk lengannya sendiri.

Pada detik yang sama Senja seperti mengalami flashback ketika ibunya memukulinya.

Ya Tuhan, ibunya. Hati Senja selalu merasa sakit apabila mengingat peristiwa yang membuatnya harus kehilangan dirinya.

Tapi di sisi lain, ada perasaan aneh yang membuncah di hatinya yang tak mampu dijelaskannya dengan kata-kata.

Belum puas akan goresan pertama, Senja menggoresnya sekali lagi. Kali ini, yang dirasakannya adalah sebuah kenikmatan.

Pada goresan ketiga dan keempat, Senja sudah bisa melupakan peristiwa mengerikan yang baru saja menimpanya. Tanpa ia sadari ini terus menjadi kebiasaan yang berulang dan anehnya, Senja menikmatinya.

Apakah itu normal? Mungkin tidak. Namun hanya ini satu-satunya yang membuatnya bisa bertahan.

***

Gandhi belum bisa melupakan apa yang baru saja dilihatnya. Tim dokter menemukan begitu banyak bekas luka berupa sayatan dan lebam menghitam yang ada di sekujur tubuh Senja.

Tidak hanya di kedua nadi tangannya saja. Tapi juga di punggung, lengan, dan pangkal pahanya.

Bodohnya.

Malam itu Gandhi memang merasa janggal, ketika menyentuh tubuh Senja yang agak sedikit kasar. Tapi ia mengabaikannya. Gelap lampu yang dimatikan membutakan matanya. Nafsu binatangnya juga sudah terlanjur menguasai dirinya. Sampai-sampai ia tak mampu lagi menggunakan otaknya dengan benar.

Seharusnya, Gandhi sudah bisa membaca tanda-tandanya. Kelakuan Senja yang liar. Kabur dari rumah. Mabuk-mabukan. Berdansa sampai pagi di klub malam.

Mengapa ia baru menyadarinya sekarang?

***

"Sayang! Kamu nggak apa-apa?"

Florence berhambur ke pelukan Gandhi begitu menemukan tunangannya itu duduk melamun sendirian di lorong rumah sakit yang sepi.

"Flo? Kenapa kamu di sini?"

"Ren udah ceritain semuanya sama aku! Maafin aku, Sayang! Harusnya aku percaya sama kamu!"

Oh, begitu rupanya. Ren yang mengabarkan pada Flo tentang Senja yang masuk rumah sakit karena mengiris nadinya sendiri.

Gandhi memang meminta tolong pada sepupunya itu untuk menjadi psikiater yang akan menangani Senja secara intensif. Tapi ia tidak menyangka kalau peristiwa ini justru akan membuatnya kembali padanya.

Flo akhirnya percaya kalau Senja memang merupakan pribadi bermasalah yang membutuhkan pertolongan. Hanya entah mengapa, rasanya sudah terlambat. Rasa sesalnya terhadap kekasihnya, beserta ketakutan untuk berterusterang padanya seakan menguap seketika.

Kehilangan Senja hampir untuk yang kedua kalinya menyadarkan dirinya. Ternyata sejak awal sampai dengan detik ini, hanya gadis itu yang selalu berada di hatinya dan tidak pernah pergi.

*** 

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now