Ready To Go

217 20 1
                                    

"Ja, aku pergi dulu ya. Kamu nggak pa-pa kan, sendirian di rumah?"

Tiga puluh menit setelahnya, Ren yang sudah bersiap-siap untuk mengambil kunci mobilnya berpamitan pada Senja. Selesai menceritakan semuanya dan memberikan lukisan titipan Gandhi pada Senja, Ren membiarkannya sendirian di kamarnya.

Ia mengerti kalau Senja membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Bagaimanapun juga Gandhi pernah menjadi orang yang berarti dalam hidupnya.

"Kamu baik-baik saja, Ja?"

Ren menanyainya lagi, berjaga-jaga apakah Senja benar akan baik-baik saja. Tapi tak lama kemudian, Senja keluar dari kamarnya. Dengan penampilan yang tidak dibayangkan sebelumnya oleh Ren.

Senja sudah mengenakan gaun pesta yang dibelikannya beberapa minggu yang lalu. Ren memang sering membelikan Senja hadiah. Entah itu baju, sepatu, tas, jam tangan. Namun ia tidak mengira kalau gaun itu akan berguna pada hari ini. Senja tampak begitu menawan dengan gaun pesta yang elegan membungkus tubuhnya.

"Ren, I'm going with you."

Kata-kata Senja membuyarkan lamunan Ren. Ia baru tersadar. Senja ingin datang ke pernikahan Gandhi. Dengan demikian, ini berarti kekacauan untuk pernikahan sepupunya nanti.

"Tolong jangan salah paham, Ren. Aku pergi bukan ingin mengacaukan pernikahan Gandhi. Aku datang cuma ingin memberikan dukungan untuk mereka." ucap Senja menegaskan tujuannya, seperti bisa membaca apa yang ada di pikiran Ren.

"Kamu yakin, Ja? Aku pikir kamu akan-" Ren tidak yakin dengan apa yang baru didengarnya. Ia tidak mengerti mengapa Senja malah memilih keputusan ini.

"Iya Ren, aku sudah memikirkannya. Aku menghormati pilihan Gandhi. Aku rasa ini memang yang terbaik untuk kita semua."

"Ja, are you sure?" tanya Ren lagi memastikannya.

"Yes, but he was my bestfriend once. After everything he did to me, I think we deserve a proper goodbye."

Mendengar jawaban Senja, Ren tidak bisa menahan senyumnya. Ia pun tidak banyak bicara lagi. Menurut Ren, itu adalah ucapan paling tulus yang pernah ia dengar dari seseorang sepanjang hidupnya.

***

Senja telah berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Ren. Dalam perjalanan menuju hotel yang menjadi resepsi pernikahan Gandhi, Senja belum tahu apa yang akan disampaikan olehnya. Yang jelas Senja pasti akan berterimakasih padanya. Selebihnya, Senja masih berusaha memikirkannya.

Ketika baru mencapai dua blok yang berjarak tidak tahu dari apartemen mereka, Ren menerima telepon dari seseorang. Dari pembicaraan mereka, sepertinya itu adalah telepon penting karena Ren mulai terlihat cemas.

"Astaga, kok bisa ketinggalan sih Om? Oke Om, dimana? Ren ke sana sekarang."

Senja jadi ikut heran mendengar percakapan Ren di telepon. Setelah telepon ditutup, Senja bertanya padanya.

"Kenapa, Ren?"

"Ayah Gandhi barusan nelpon aku, Ja. Masa katanya cincin kawin mereka ketinggalan di rumah? Yang lain udah di hotel, jadi cuma kita yang bisa ngambil ke sana. Nggak pa-pa, ya?"

"Iya, nggak pa-pa. Ayo kita ke sana sekarang." Senja menggelengkan kepalanya, sama sekali tidak keberatan Ren memutar balik kendali mobilnya menuju rumah Gandhi.

***

Dua puluh menit kemudian, mobil Ren sampai di depan pintu utama rumah Gandhi. Mereka baru saja akan keluar dari mobil begitu Ren menerima panggilan lagi dari telpon genggamnya.

Sepertinya itu adalah telepon dari tempat kerjanya, sehingga Ren terpaksa mengangkatnya.

"Maaf, sebentar ya Ja. Halo?"

Melihat Ren yang begitu sibuk berbicara di telepon, Senja mengajukan diri untuk mengambilnya sendiri. "Ren, biar aku aja yang ambil ya? Biar nggak tunggu-tungguan. Kita diburu waktu, kan."

"Boleh, boleh. Katanya cincin itu ada di laci meja kerja Ayah Gandhi, Ja. Itu cincin keluarga warisan dari Neneknya. Kamu tanya Bi Minah aja ya, pasti tahu kok."

"Oke, oke." Senja menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Aduh maaf ya Ja, aku terima telepon dulu." Ren tidak begitu konsentrasi menjawab perkataan Senja karena lawan bicaranya terus menanyainya di telepon.

Rupanya itu adalah telepon dari rumah sakit, yang mengabarkan salah satu pasien mereka kehilangan kendali dan membuat keributan di sana. Ren terpaksa harus memberikan instruksi di telepon supaya mereka bisa segera mengatasinya.

"Non Senja! Apa kabar? Lama nggak kelihatan, Non!"

Senja menyalami bi Minah yang menyambut hangat kedatangannya. Dulu ketika masih tinggal di sana, bi Minah adalah satu-satunya teman bicaranya. Meski ia sering membuat ulah, bi Minah selalu ada untuk membantunya. Jadi mereka masih berhubungan baik sampai sekarang.

"Baik, Bi. Kok nggak ikut pergi ke sana sih Bi?" tanya Senja dengan sopan.

"Enggak lah Non, Bibi mah kerjanya di rumah aja. Oh ya, kata Bapak Mas Rendra mau ambil cincin Den Gandhi ya Non?"

"Iya Bi, tapi Ren masih di depan angkat telepon. Saya aja yang ambil Bi, nggak pa-apa. Ada di mana cincinnya?"

"Oh ya itu ada di laci meja kerja Bapak, Non. Masuk aja Non."

Bersamaan dengan itu, terdengar suara ketel air yang berasal dari dapur. Sepertinya bi Minah sedang merebus air yang baru saja mendidih.

"Sebentar Bibi tinggal ke dapur dulu ya, Non."

"Oke, Bi."

Sepeninggal bi Minah, Senja melangkah memasuki ruang kerja Ayah Gandhi yang tidak terkunci. Ini adalah pertama kalinya ia masuk ke sana.

Meski lama tinggal di sana, Senja jarang menemui ayah Gandhi. Kata bi Minah ayah Gandhi sering ke luar negeri. Rasanya juga bisa dihitung dengan jari berapa kali Senja bertemu dengannya, sejak pertama ia datang ke rumah ini.

Senja tidak ingin berlama-lama di ruangan ini. Ia pun segera membuka laci meja kerja ayah Gandhi, dan menemukan apa yang dicarinya di sana.

Sepasang cincin yang terpasang manis di kotak kayu yang sudah sangat tua, tapi tetap terlihat mewah. Tidak heran. Ren bilang ini adalah cincin turun-temurun dari keluarga.

Namun ketika akan mengambilnya, sudut mata Senja terpaku pada benda yang membuatnya terperanjat.

Sebuah topi berwarna hitam yang sangat dikenalnya.

***

"Lho Non? Mau kemana, Non!?"

Bi Minah bingung mendapati Senja yang tiba-tiba berlari keluar dari ruang kerja majikannya tanpa mengucapkan salam. Gadis itu segera menghampiri Ren di dalam mobilnya yang sepertinya juga sudah selesai dengan teleponnya.

"Ja? Kok cepet? Udah, cincinnya?"

"Ini cincinnya," jawab Senja sembari menyerahkannya pada Ren, "Ayo pergi dari sini, Ren." ajaknya untuk segera meninggalkan tempat itu.

Ren menuruti keinginan Senja dengan menginjak pedal gas. Memacu mobilnya ke tempat resepsi pernikahan sepupunya.

Ia tidak menyadari ekspresi Senja yang berubah memucat seperti hantu. Ren mungkin mengira bahwa sikap Senja ini normal karena akan pergi ke pernikahan seseorang yang pernah dicintainya.

Tapi ia tidak pernah menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang mengubah diri Senja, yang bisa berbahaya bagi semuanya.

*** 

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now