Counseling

236 19 0
                                    

"Hello, beautiful. Masih ingat aku?" sapa Ren dengan ramah ketika pertama kali mengadakan sesi konselingnya bersama Senja.

Gadis itu sudah pulih dari kesadarannya. Ia juga telah siap menjalani sesi terapinya. Tim dokter yang menanganinya kini perlu mengetahui penyebab mengapa ia hampir membunuh dirinya sendiri waktu itu.

Padahal, semua itu hanyalah sebuah kecelakaan. Senja sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Yang benar saja. Kenapa ia harus membunuh dirinya sendiri? Senja masih ingin hidup meski ia juga tidak mengerti apa gunanya ia hidup.

Hidupnya mungkin memang kacau berantakan dan jauh dari kata sempurna, tapi bunuh diri tidak pernah ada dalam rencananya. Hanya saja Senja terlalu gengsi dan malu untuk mengakuinya di hadapan orang lain.

Kalau bisa, rasanya Senja ingin kabur saja dari tempat ini. Sayangnya ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Penjagaan yang diterimanya sekarang jauh lebih ketat. Bisa diibaratkan ia sudah seperti seorang tahanan saha.

"Not a way to call a patient, Doc. Leave. I want to change my Doctor."

Reaksi Senja mengundang tawa Ren yang berderai renyah. Gadis itu memang penuh kejutan. Sikapnya yang cuek bahkan cenderung ketus justru tampak begitu memikat di mata Ren.

"Kamu nggak inget aku? Aku menyelamatkan kamu yang mabuk berat di klub waktu itu."

Senja menatapnya sekali lagi. Not even a clue. Ia benar-benar tidak ingat pernah bertemu dengannya dimana. Senja tidak mengerti kenapa dokter muda itu sok akrab sekali padanya.

"Kenalin, aku Ren."

Dokter itu memperkenalkan namanya sekaligus mengulurkan tangannya yang membuat Senja tertegun sejenak.

"Ren?" ulangnya heran.

"Kenapa?" tanya Ren penuh selidik, menangkap keraguan pada mata calon pasiennya.

"Nama kamu," ucap Senja seraya melayangkan ingatannya pada masa kecilnya. Bayangan Rin seolah muncul kembali, tersenyum padanya dan melambaikan tangan ke arahnya. Astaga, sudah lama sekali ia tidak memikirkannya.

"Nama aku kenapa?" Dokter itu bertanya lagi padanya.

"Nama kamu mirip temanku, tapi dia sudah meninggal lima belas tahun yang lalu." ujar Senja kemudian, terkesan karena dokter ini memiliki nama panggilan yang hampir mirip dengan dengan sahabatnya dulu.

Ren tertawa.

"Kenapa ketawa?" Senja bertambah bingung menanggapi Ren.

"Reaksi kamu sama seperti waktu dulu aku pertama kali ketemu sama Gandhi." jawab Ren tersenyum.

"Gandhi?"

Senja bingung mendadak nama Gandhi muncul ke permukaan. Ia jadi bertanya-tanya apa hubungan dokter ini dengan teman masa kecil yang tinggal bersamanya itu selama ia berada di Indonesia.

"Kamu pikir nama aku mirip dengan Rin, Rinjani. Sayangnya namaku Ren, nama panjangku Gama Rendra Hadikusumo. Dan aku laki-laki."

Gadis itu mengangkat kedua alisnya. Nama Hadikusumo terdengar sangat familiar di telinganya. Tak lama ia baru menyadarinya.

"Ya, aku sepupu Gandhi. Kami masih satu keluarga. Gandhi yang meminta aku menangani kamu mulai hari ini. Aku harap kita bisa bekerjasama, Senja."

Dokter muda itu tersenyum memamerkan giginya yang berderet rapi sekali lagi. Senja termenung. Ia masih belum mengerti konspirasi macam apa ini yang direncanakan Gandhi padanya.

Senja tahu Gandhi bekerja sebagai dokter. Entah dokter spesialis atau dokter bedah atau apalah namanya, ia tak terlalu peduli. Rumah sakit tempatnya dirawat ini juga merupakan milik keluarganya. Dan sekarang ia akan ditangani oleh psikiater yang juga adalah sepupunya sendiri.

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now