Dad

256 22 0
                                    

Senja tidak dapat menyembunyikan kekagumannya begitu tiba di kediaman Gandhi. Rumah mewah berarsitektur Belanda itu ditopang dengan pilar-pilar raksasa berwarna putih. Berhiaskan taman hijau di depannya, yang luasnya hampir menyamai dua kali lapangan bola.

Seperti yang terlihat dari luar, interior dalam rumah Gandhi juga tak kalah mewahnya. Rumah bertingkat dua itu dipenuhi dengan perabotan yang berkelas, juga barang-barang antik yang terkesan mahal.

Di tengah ruangan, terdapat undakan tangga putih beralaskan permadani merah yang melingkar ke atas. Dimana kamar-kamar berjejer rapi yang semuanya terlihat begitu bersih dan terawat.

Dari pertama kali bertemu Gandhi kembali sampai detik ini, ia baru menyadarinya.

So, what.

He's a billionaire, now?

Pantas saja ia bisa bicara seperti itu. Seolah dunia ada di tangannya dan tidak ada seorang pun yang bisa menghentikannya. Senja jadi bertanya-tanya. Apa yang terjadi padanya?

Terakhir kali Senja melihatnya, Gandhi masih sama miskinnya seperti dirinya. Kehidupannya pun tidak jauh lebih baik darinya. Sekarang, mereka seakan berada dalam dunia yang berbeda dan tak mampu dijangkau olehnya.

Tapi Gandhi agaknya tidak membaca pikiran Senja karena sibuk memilihkan kamar untuknya. Gandhi menyediakan kamar kosong di lantai atas, yang berjarak hanya dua kamar dari kamarnya sendiri untuk Senja. Tadinya itu adalah kamar tamu yang diperuntukkan apabila ada saudara yang datang untuk menginap. Namun sudah lama sekali tidak digunakan oleh keluarganya.

Kamar itu cukup bagus karena menghadap langsung ke arah taman. Jadi Senja bisa leluasa melihat pemandangan yang ada di luar. Selain itu, udaranya cukup sejuk. Cahaya matahari juga bisa masuk melalui pintu kaca yang terbuka lebar, yang menjadi pembatas antara tempat tidur dan balkon kamarnya.

"Sementara kamu akan tinggal di sini, Ja. Kalo ada apa-apa, kamu bisa minta tolong sama Bi Minah yah." ujar Gandhi mengenalkan kepala pelayan yang sudah bekerja selama puluhan tahun pada keluarganya.

Bi Minah mengangguk dengan patuh. Sementara Senja tidak menjawabnya, ia justru menyeret langkahnya. Duduk di atas ranjang tempat tidurnya dengan canggung.

Senja menyentuh seprai putih yang halus dengan kedua tangannya, seraya melayangkan pandangannya ke luar kamar. Kamar ini memang kelihatan cukup nyaman. Namun tetap saja terasa begitu asing baginya.

"Gandhi! Kamu sudah pulang, Nak?"

Pembicaraan mereka terhenti begitu ayah Gandhi menyeruak masuk ke dalam kamar. Di saat yang sama beliau juga terbelalak menemukan sosok Senja yang dikenalinya sebagai teman masa kecil anak lelakinya itu.

Ternyata apa yang diceritakan oleh Florence, calon menantunya di telepon itu memang benar.

Senja.

Bagaimana mungkin gadis itu bisa berada di hadapannya sekarang?

"Ayah," panggil Gandhi dengan tenang. "Ayah masih ingat... sama Senja?"

***

"Ayah nggak percaya. Ternyata Florence benar. Ayah kira kalian hanya bertengkar biasa. Gimana kalian bisa bertemu kembali, Nak?"

"Ceritanya panjang, Ayah."

Ayahnya bertanya tentang kronologis pertemuan pertamanya kembali dengan Senja setelah sekian lamanya mereka berpisah. Gandhi pun menjawabnya dengan apa adanya. Tentang dirinya yang sengaja pergi ke Amerika untuk mencari Senja, sampai menemukannya di tempat yang sama sekali tidak mereka perkirakan sebelumnya.

Selesai bercerita panjang lebar pada ayahnya, berganti beliau lah yang ternganga di depannya.

"Ayah nggak tahu harus bilang apa," ucap ayahnya yang masih kebingungan mencerna ceritanya.

"Nggak perlu bilang apa-apa, Yah. Gandhi harap Ayah nggak keberatan Senja tinggal sementara di sini sama kita."

"Tapi Nak... dia gadis penghibur,"

"Mantan gadis penghibur, Ayah." Gandhi mengkoreksi kata-kata ayahnya.

"Sama saja, Nak. Apa yang terjadi sama Senja memang mengerikan. Tapi kita nggak bisa biarkan dia tinggal di sini. Apa kamu nggak takut terkena penyakit menular dari dia?"

"Ayah!"

Gandhi mengerti arah pembicaraan ini akan menuju ke mana. Ia kesal meski sesungguhnya tidak sepenuhnya merasa heran dengan sikap ayahnya.

Kekhawatiran ayahnya memang merupakan sesuatu yang wajar. Gandhi hanya merasa kecewa karena tidak ada seorang pun yang mendukung keputusannya. Baik ayahnya maupun kekasihnya, mereka berdua sama saja.

"Kita bukan keluarganya, Gandhi! Kita nggak punya tanggung jawab apa-apa sama dia! Lagipula, Florence nggak suka Senja ada di sini. Jangan sampai pernikahan kalian batal gara-gara dia!"

"Ayah," jawab Gandhi berusaha tenang menanggapi kepanikan ayahnya. "Gandhi harap Ayah nggak lupa, Gandhi nggak akan ada di sini sekarang kalau bukan karena Senja."

Kalimat Gandhi barusan membungkam mulut ayahnya. Tentu saja. Sampai kapanpun ayah Gandhi tidak akan bisa lupa. Peristiwa menyakitkan yang merenggut nyawa anak gadisnya, juga percobaan bunuh diri yang dilakukan anak lelakinya.

Sekeras apapun ayah Gandhi berusaha mengingkarinya, masa lalu tidak akan bisa diubah. Gadis itu memang telah berjasa menyelamatkan anaknya.

"Terserah Ayah mau bilang apa. Tapi Senja akan tetap tinggal di sini dengan atau tanpa seijin Ayah. Sampai Gandhi menemukan tempat yang lebih baik untuk Senja." tutup Gandhi mengakhir pembicaraan alot tersebut tanpa berkompromi lebih jauh, sebelum menutup pintu dan menghilang dari hadapan ayahnya.

***

Setelah bertengkar dengan ayahnya, Gandhi pergi ke kamar Senja. Ia ingin mengajaknya bicara, tapi ternyata gadis itu sudah terlelap dalam tidurnya.

Mungkin ia kelelahan akibat jetlag, usai melalui perjalanan panjang antar benua yang memakan waktu lama dan cukup menguras tenaganya. Wajah mungilnya itu terlihat sangat tenang, sehingga Gandhi tidak tega untuk membangunkannya.

Tadinya Gandhi sudah berniat membiarkannya. Namun entah mengapa, ia tertuntun untuk mendekati sahabatnya itu dan mengusap anak rambut yang tersemat di belakang kepalanya dengan lembut.

Perlahan-lahan, Gandhi berbisik di telinganya dengan hati-hati supaya gadis itu tidak terjaga dari tidurnya.

"Terimakasih sudah kembali bersamaku, Ja. Mulai sekarang, aku yang akan menjaga kamu." bisik Gandhi mengecup kening Senja sebelum pergi meninggalkan-nya dan menutup pintu kamarnya.

Sebetulnya Gandhi tidak memiliki niat apa-apa bersikap demikian. Memang akan terasa tidak nyaman jika Gandhi melakukannya saat gadis itu dalam keadaan sadar.

Tetapi Gandhi tidak bisa lagi menahannya. Kerinduan yang teramat sangat yang selama ini tersimpan di hatinya tumpah begitu saja, sebab ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengekspresi-kannya di hadapan Senja.

Kalau saja sahabatnya itu tidak mengalami hal yang begitu mengerikan, mungkin sikapnya tidak akan berubah drastis seperti sekarang. Mungkin mereka masih bisa kembali seperti dulu kala, saling bercanda dan melengkapi satu sama lain.

Tapi sudahlah. Tidak ada gunanya berpikir demikian. Yang penting Senja sudah ada bersamanya. Gandhi akan berusaha sekeras mungkin untuk membuatnya nyaman dan membahagiakannya.

Sementara itu, Gandhi tidak tahu kalau sesungguhnya Senja tidak benar-benar tertidur. Ia hanya berpura-pura saja ketika menyadari Gandhi berada di kamarnya. Gadis itu hanya termenung tak bergerak di kamarnya, merenungkan apa yang baru saja diperbuat Gandhi kepadanya.

*** 

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now