My Kind Of Happy Ending

546 34 5
                                    

"Sedang apa, Istriku tercinta?"

Gandhi memeluk Senja dari belakang yang ditanggapi dengan erangan sebal karena suaminya itu mengganggu kegiatannya.

"Dhi, jangan ganggu ah. Aku harus segera nyelesaiin ini nih," protes Senja menunjuk lukisannya yang sudah hampir separuh jadi.

"Ada apa kok senewen banget sih, Istriku?" goda Gandhi belum menyerah untuk menjahili istrinya.

"Pak Bastian bilang aku boleh ikut pameran di Bali bulan depan. Tapi syaratnya minimal aku harus nyelesaiin 10 lukisan."

Senja menyebutkan nama mentornya yang juga adalah seorang pelukis terkenal yang karyanya banyak diburu para kolektor kaya raya, salah satunya seperti keluarga Gandhi.

Pada mulanya, memang Gandhilah yang mengenalkan Pak Bastian dengan Senja melalui tangan Ren. Ia hanya meminta tolong pada Pak Bastian yang sudah lama menjadi langganan bisnis keluarganya itu agar Senja bisa mengikuti kelas lukisnya, mengingat gadis itu sangat menyukai seni. Tapi ternyata Pak Bastian justru menyenangi lukisan Senja.

Beliau mengatakan Senja memiliki bakat meskipun harus masih banyak diasah. Pak Bastian bahkan sering mengajak Senja mengikuti berbagai pameran, serta memintanya untuk membantu mengurus galerinya yang berlangsung sampai sekarang.

"Wow, selamat Sayang! Aku ikut senang mendengarnya." Gandhi menciumi istrinya yang kini tertawa geli menghindarinya.

"Dhi, udah ah! Geli, tahu."

"Aku mencintaimu, Ja." ucap Gandhi kemudian di sela-sela ciumannya, seraya berbisik lembut pada telinga istrinya.

"Dhi, ini sudah yang ketiga kalinya hari ini. Kamu nggak bosan terus-terusan mengucapkannya?"

Senja bersikap seolah-olah muak menghadapi siraman cinta dari Gandhi yang terjadi setiap harinya seperti hari ini. Padahal sebetulnya di dalam hati perasaannya berbunga-bunga, tetapi ia terlalu gengsi untuk mengungkapkannya. Gandhi tertawa menanggapi aksi protes istrinya yang terlihat begitu menggemaskan di matanya.

"Kenapa harus bosan? Aku ingin mengucapkannya selagi kamu bisa mengingatnya."

Sekali lagi Gandhi mencuri ciuman dari istrinya, sebelum mengelus perut Senja yang membuncit karena kandungannya yang berusia hampir tujuh bulan. "Dan yang paling penting... aku ingin anak kita tahu kalau Ayahnya tidak pernah berhenti mencintainya."

Senja tidak dapat menyembunyikan ekspresi bahagianya melihat Gandhi yang begitu antusias dengan kehamilannya. Menurut hasil USG, bayi mereka berjenis kelamin perempuan dan kalau tidak ada halangan dua bulan lagi ia akan melahirkannya ke dunia.

"Jadi gimana, kamu sudah tahu akan memberinya nama apa?" tanya Gandhi mengubah topik pembicaraan mereka berdua.

Sudah lama Gandhi dan Senja menghabiskan waktu mencari nama untuk bayi mereka. Masing-masing boleh menyumbangkan nama karena keduanya telah berjanji untuk tidak menjadi egois. Dan hari ini adalah penentuan dimana mereka harus menyebutkan nama apa yang mereka inginkan untuk anak perempuan mereka.

"Tentu saja. Kamu sendiri bagaimana?"

"Aku juga sudah." jawab Gandhi yakin dengan wajah sumringah.

Mendengar jawaban Gandhi, Senja pun berinisiatif supaya mereka menghitung satu sampai tiga dan bersama-sama mengatakannya.

"Oke, kalau begitu kita ucapkan sama-sama ya. Satu... dua... tiga."

"Rin."

Gandhi dan Senja tertegun setelah menyadari mereka berdua telah menyebutkan nama yang sama.

Reverse (Every scar has a story)Where stories live. Discover now