6

608 36 2
                                    

Harry POV

Ketika aku keluar, suasana sudah kembali normal, tak ada lagi tatapan-tatapan yang memperhatikanku. Aku melangkah turun, berjalan menuju sofa dimana sahabat-sahabatku berkumpul. Mereka menyadari kedatanganku lantas menyisihkan tempat supaya aku bisa ikut duduk. "Dimana dia?" Liam yang pertama melempar pertanyaan padaku. Di tangannya ada sebuah gelas plastik berisi bir.

Salah satu gadis di antara kami mengulurkan tangannya memberiku satu botol bir baru. Aku menerimanya, langsung menyesapnya sedikit. "Di kamar. Tidak bisa keluar."

"Apa dia tidak berpakaian?" Lanjut Niall. Aku menggeleng menjawabnya. "Aku melarangnya keluar."

"Jadi, ada apa tadi? Kau tahu, dia benar-benar seperti perkiraan kita. Tak kan mudah ditakhlukan." Louis ikut bergabung, ikut bertanya juga. Sudah ku duga mereka akan bertanya-tanya seperti ini.

Aku kembali menyesap birku sebelum menjawab Louis. "Ada mantannya di dapur. Dan laki-laki itu mencium pipinya."

"Kau pasti tidak terima." Zayn menimpali, sudah bisa menebak bagaimana reaksiku. Aku mengangguk setuju. Belle milikku. Tidak ada yang boleh menyentuhnya kecuali aku. Selama dia milikku, selama itu pula tidak ada yang boleh menyentuhnya. Sifat proktektif selalu tidak bisa dibendung ketika semua yang menyangkut milikku disakiti atau disentuh, atau diperlakukan tidak menyenangkan di mataku. Itu tidak berlaku untuk hubunganku dengan Belle saja. Tapi juga pada sahabat-sahabatku. Seperti Niall yang pernah dikeroyok, aku ikut turun membalas. Ya, semacam itulah. Boys and their problem.

"Aku menciumnya empat kali hari ini. Dan kau sudah bisa menebak seperti apa kemarahannya."

"Kalian berciuman?" Niall bertanya ulang. Aku mengangkat kedua alisku sebagai jawaban 'ya'. "Aku yang menciumnya, lebih tepatnya." Imbuhku mengoreksi. Aku laki-laki. Dan anti mengarang cerita. Jadi aku ceritakan apa adanya.

"With tongue?" Zayn mrnjulurkan lidahnya.

Ku gelengkan kepalaku. "Belum sejauh itu, bro. Setidaknya aku harus membuatnya takhluk dulu. Hanya empat ciuman biasa dan dia sudah semarah ini. Bayangkan saja jika pakai lidah. Lagipula, dia masih menolak menjadi target."

"Well, sayang sekali. Seandainya kalian berciuman dengan lidah, aku akan dengan senang mencoret satu list challengenya."

"Bukankah memang ini bagian serunya? Dia menolak dan kau memaksa. Kita lihat sejauh mana dia bisa bertahan untuk tetap menolak." Liam kembali menyahut. Kali ini ada satu senyum evilnya yang terlihat. Hahaha. Liam benar. Aku ikit tertawa kecil seperti yang lain.

"Butuh waktu lama, mungkin." Timpal Louis. Dan aku mengangguk setuju. Mereka tidak tahu seberapa gigih gadis itu.

"Omong-omong siapa yang muntah tadi?" Aku mengganti topik. Namun tidak benar-benar jauh dari soal Belle.

"Greg. Tinjuan perempuanmu itu lumayan juga. Greg sampai berdarah."

"Belle sedang di puncak emosinya tadi. Wajar saja jika tinjuannya keras." Aku kembali tertawa membayangkan bagaimana Belle meninjunya tadi. Sangat menyenangkan.

"Sampai kapan dia akan terus di kamar? Ini pestanya." Niall menggeser posisi duduknya dan memberi tempat untuk Emma supaya bisa berada di sebelahku. Dia... sebut saja teman kencanku. Emma menarik daguku, dan memberiku satu ciuman yang lumayan panjang. Sejenak kami saling beradu lidah, ku absen tiap deretan giginya, melumatnya dengan sensual. Gairahku sedang naik hari ini. Bagaimana tidak jika aku melihat Belle hanya berbalut bikini, dan memakai bajuku yang agak kebesaran di tubuhnya tanpa bra. Hell, man. Kau pasti tidak normal jika tidak terangsang.

Damn It's Styles! (Slow Update)Where stories live. Discover now