12

429 31 1
                                    

Senin

Harry Styles POV

Fuck. Belle benar-benar fuck! For the first time in forever aku benar-benar marah padanya. Mulutku tidak bisa berhenti memaki sejak keluar dari ruang Bapak Kepsek yang terhormat. Semua tanggung jawab ini sekarang ada di tanganku. Ibu Belle benar-benar tidak punya petunjuk. Dia tidak tahu apa pun mengenai Belle. Tidak habis pikir, bagaimana ada ibu macam begitu?

Banyak faktor yang membuat kekesalan dan kemarahanku bertumpuk pada Belle. Dia benar-benar membuat masalah! "Argh!" Aku menendang tong sampah yang berada di sebelah pintu toilet hingga membuat bunyi nyaring yang berisik dan sedikit isi di dalamnya tumpah.

Seorang guru mendadak membuka pintu, memastikan suara apa yang sudah berbunyi tadi. "Mister Styles." Ujarnya dengan nada tegas. Namun aku hanya membalasnya dengan tatapan tajamku dan melangkah pergi dari sana.

Canteen, now.

Pesan teks tersebut kukirim langsung pada The Boys. Otakku tak kan konsen menerima pelajaran. Apalagi keadaanku sedang dalam kemarahan.

"What's wrong?" Liam yang pertama sampai. Dia langsung duduk di depanku.

Aku masih bungkam, enggan membuka suaraku dulu sampai semua datang. Liam jelas bisa merasakan aura kekesalanku. Brengsek. Aku benci ketika aku mulai marah. Aku susah menghilangkan emosiku yang membara.

Beberapa menit kemudian mulai disusul Niall, Zayn, dan Louis. "Ada apa?" Tanya Niall mewalili ketiganya.

Aku tahu aku tak kan bisa mencari Belle sendirian. Inggris terlalu luas. "Belle menghilang." Ujarku tertahan. Aku menekan kemarahanku.

"what the hell, bro? Kau bilang dia hanya pergi untuk tiga hari?" Louis terkejut. Of course. Yang lain juga begitu.

"That's the problem. Dia pergi tiga hari, namun sama sekali tidak bisa dihubungi! Semua pesan yang kukirim dan panggilan yang terhubung, tidak ada satu pun yang dibalasnya. Ibunya baru saja dari sini mencarinya. Dan ya, dia tanggung jawabku. Ibunya meminta tolong padaku untuk menemukan Belle. Ibunya tidak tahu di mana dia berada."

"What the...." Zayn tidak bisa melengkapi kata-katanya. Dan ya, kondisi ini sangat # untukku. Fuck. Bagaimana jika ada apa-apa dengannya?!

Fuck. Fuck. Fuck. Fuck!

Niall mengusap wajahnya. "Kita harus mencari dari mana? Hell."

"Hubungi sekretaris orang tuamu saja, Harry. Dia bisa menyuruh orang untuk menemukan Elle dengan cepat." Nice. Liam benar-benar pintar.

Aku tidak menjawab dan langsung mengeluarkan ponselku, menghubungi Donna.

Tersambung, namun tak kunjung dijawab. Brengsek. Sesibuk apa dirinya sampai tidak menjawabku begini?! Aku memaki kecil lagi. "Halo." Akhirnya Donna menjawab.

"Fuck. Sesibuk apa kau? Lama sekali."

"Maaf, tuan. Saya menyiapkan berkas tuan besar dan nyonya tadi."

"Whatever. Aku mau kau menemukan seseorang. Cari tahu dimana dia sekarang."

"Baik, tuan."

"Langsung kerjakan, kau mengerti? Kukirimkan foto dan identitasnya sekarang."

"Yes, sir."

Aku langsung memutuskan panggilan dan mengirimkan surel pada Donna berisi foto Belle dan data dirinya. Hanya nama, ciri-ciri tubuh, dan nomor ponselnya.

Aku meletakkan ponselku setelah beres mengirim surel pada Donna. "Sekarang, kita hanya bisa menunggu." Liam terdengar lega. Aku sendiri masih menegang, berharap-harap cemas menunggu kabar dari Donna. Yang lain sama tegangnya, hanya saja mereka sedikit lebih rileks. Mereka memang percaya penuh kepada Donna.

"Dia gadis gila." Louis bergumam menggelengkan kepalanya.

"Harry, rileks. Oke?" Zayn menepuk bahuku namun kuacuhkan. Aku bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir, sama sekali tak sabar menunggu kabar dari Donna.

Niall pergi ke mesin minuman dan memasukkan beberapa koin, membelikan kami minuman.

Sial. Kenapa Donna lama sekali?!

Niall menghampiriku dan memberikanku sekaleng coke. "Calm down, Harry." Liam menyahut lagi. "Kau seperti ini pun Donna tidak akan cepat mengabarimu."

Aku mendengus dan kembali duduk. Kuketuk-ketukkan jariku di atas meja untuk mengurangi ketidak sabaranku. Dan akhirnya ponsel sialan ini berbunyi. "Bagaimana?" Tanyaku langsung.

"Kami menemukannya, tuan. Dia ada di sini. Di New York."

"New York?!" Aku tersentak.

"Ya, tuan. Apa anda mau saya menyiapkan pesawat juga?"

"Ya. Thanks, Donna."

"Sama-sama, tuan. Akan saya kirimkan alamat tempat tinggalnya. Haruskan saya mengawasinya?"

"Cukup kabari aku jika dia pergi-pergi."

"Baik."

Aku memutuskan sambungan dan meletakkan ponselku di atas meja dengan hentakan terus. "She's in New York."

"Hell, kukira dia hanya akan di sekita sini." Liam terdengar tak percaya.

Zayn berdecak sambil menggelengkan kepalanya. "Dia gila, sinting."

"Merepotkan."

"Kita ke bandara sekarang. Pesawatnya sedang disiapkan." Aku bangkit dari kursi, memasukkan ponselku dan mengeluarkan kunci mobil.

Otakku rasanya seperti diblokade. Buntu, aku sama sekali tidak bisa berpikir. Hanya bisa terus merasa marah dan khawatir. Aneh memang karena merasakan dua hal yang berbeda di saat yang bersamaan. Brengsek.

Aku mengendarai mobilku dengan gila, menerobos lampu lalu lintas saat sedang merah, menyalip mobil-mobil yang menurutku bergerak lelet seperti siput. Tak jarang aku menerima klakson protes dari para pengguna jalan. Tapi, persetan. I don't give a fuck.

Aku sampai di bandara dengan cepat. Sebelum turun, aku menyempatkan diri mengambil borgol yang tersimpan di dashboard mobil. Itu  mainanku dan The Boys ketika kami sedang gila. Di belakang mulai muncul mobil The Boys yang lainnya. Kami masuk, melewati petugas bandara begitu saja. Lagipula, mana berani mereka menahanku. Sama saja cari mati.

Perlahan, amarahku mulai surut dan hilang. Aku beruntung karena untuk kali ini proses hilangnya kemarahanku berlangsung cepat. Biasanya sangat lama.

Ini pertama kalinya kami pergi keluar negeri tanpa membawa persiapan apa-apa. Dan ya, ulah siapa lagi jika bukan Belle? Aku mendengus. Belle selalu berhasil mengembalikan emosiku. Brengsek

Mengenalnya membuat hidupku jungkir balik!

-----

An: sorry chapter ini jelek :3 keep vomments please!

Damn It's Styles! (Slow Update)Onde histórias criam vida. Descubra agora