Delusi

41 4 6
                                    

Beribu daun telah gugur dari tangkainya, menuju tanah tempatku berpijak. Ku lihat sekeliling dengan imajinasi seniman gila berpakaian bulu domba. Segalanya masih terasa damai dan indah di mata yang terpecah menjadi dua, tiga bahkan mungkin hingga lima bagian pandangan.

"Ahh ..." mataku terpaku pada dua insan di tengah danau. "Sial, aku menjadi teringat akan sosok dirinya"

Lamunan di bawah cakrawala ungu membuatku terdiam seperti batu. Lagi-lagi aku terjebak untuk memikirkan dirimu yang pergi beberapa saat yang lalu. Aku berusaha menjadi yang kau mau tetapi aku bersalah atas diriku. Maka, aku pun kehilangan rasa kemanusiaan yang tertanam dalam DNAku.

Seribu bintang melukiskan akan kenangan. Namun, pecahannya memberi nestapa setiap kali aku melihatnya. Rasa kesal, kecewa, bodoh, sering membanjiri otakku. Maka dari itu depresi dengan senang hati menyerang dan mengubahku menjadi lelaki putus asa karena cinta.

"Ahh ... sungguh aku benci bila menjadi sadboy seperti ini," ujarku lirih di bangku taman tepi danau. Aku pun berusaha bangkit dengan darah sisa di tubuhku. Aku bertahan kembali dengan keyakinan yang ku miliki. Akan tetapi, semua mulai menunjukkan sebuah fakta dimana rasa dan keyakinan ini mulai terisolisir, tergores, dan lenyap menjadi padang pasir.

Dengan demikian, maka jelas lah keyakinan dan pandanganku telah kehilangan arah sejak awal pertikaian di antara diriku dengannya. Seluruh organ dalam diriku perlahan mati akan banyaknya luka yang telah lama bersemi. Namun, kini keelokan warna mulai tampak kembali, diriku tak lagi buta, tak lagi tuli, tak lagi bisu dalam setiap tuduhan terjadi. Selamat untuk dirimu yang memang seorang pemain drama sejati.

Pengisi Waktu LuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang