04. Kembali

44 9 0
                                    

_____

" Kau tak sadar, dari dulu selalu tersedia bahu disini untuk kau bersandar. Kapanpun kau butuh, ia selalu ada "

-Stay Alive-

_____

o0o


Regin meringis, peluh mengucur deras dipelipisnya. Sakit yang ia rasakan sangat— Argh! tak bisa dijelaskan.

Sambil duduk diatas kasur, ia memijat pelan betis kirinya. Nampaknya luka itu kembali membawa penyakit lama. Berkali-kali Regin menahan air mata yang ingin keluar, ia tak ingin terlihat lemah. Walaupun ia sedang sendirian ditempat itu, ia tetap harus terlihat kuat.

Ujung-ujung jarinya mulai mendingin akibat perasaan yang campur aduk. Rasa yang membuat kedua tangannya bergetar kecil.

Regin tak sanggup lagi, ia perlu melakukan sesuatu. Setidaknya, bisa meredakan sakit ini walau sementara.

Tuutt... tuutt..

Sudah panggilan ketiga, tapi Lifa tak juga mengangkat telponnya.

"Nomor yang anda tujui sedang ti—"

Cia pun sama!

Oke, Regin akan mencoba yang lain. Ia mendial beberapa digit nomor, dan menempelkan benda pipih itu ditelinganya. Ia menggigit bibir bawahnya berharap orang tersebut mengangkat telpon darinya.

"Hallo?" Yes! diangkat.

"Bawa dr.Chandra!"

"Lo—"

Sambungan Regin putuskan sepihak. Ia tak sanggup lagi untuk mengeluarkan suara. Tadi saja sangat kontras seperti suara orang yang hendak mati. Regin yakin, Marchel pasti mengerti apa maksudnya.

Cukup lama ia menunggu dalam cemas. Ia hanya takut ditemui Marchel dalam keadaan tak sadarkan diri. Lalu akhirnya, ia mendengar pintu yang dibanting keras, disusul beberapa suara langkah kaki yang bersahut-sahutan, lalu semua berubah menjadi gelap.

o0o

Kelopak yang menyimpan manik tajam dibaliknya itu perlahan terbuka. Regin berusaha menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya disekitar. Seingatnya, ia tak membuka gorden kamar tadi, tapi sekarang terbuka. Tentu saja Regin tau pelakunya.

Sorot matanya menangkap sosok laki-laki yang duduk didekat jendela sambil menyesap secangkir cappucinonya. Ia duduk dengan tenang seperti tak ada beban pikiran.

Lalu Regin memandangi pergelangan kaki kirinya yang diperban. Ada bercak kuning kecoklatan disana. Obat merah, maybe.

Sebenarnya Regin risih melihat pemandangan tersebut. Perban itu terlihat aneh menurutnya. Tapi hal itu pula yang membuatnya tak merasakan sakit seperti sebelumnya. Bibirnya mencibik jijik melihat itu.

"Kalo luka itu diobatin." Suara Marchel membuatnya mendongakkan kepala.

"Luka kecil." Balas Regin.

Marchel tertawa sinis mendengarnya. "Sekecil apa luka yang bisa buat lo kumat?"

"Gue bukan cewek lemah!" Giliran Regin yang berkata sinis.

"Sesekali minta bantuan nggak bakal ada yang bilang lo lemah." Marchel kembali menyesap cairan didalam gelas mug itu.

"Selagi bisa sendiri, kenapa enggak?"

"Keras kepala." Gumam Marchel.

"Malam ini gue ada lawan kan?" Tanya Regin mengalihkan pembicaraan.

Stay AliveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang