02

1.7K 152 52
                                    

"Bervan?"

Alora masih membeku di depan pintu, matanya terpaku pada Bervan yang masih berdiri di hadapannya.

Bervan tampak mengenakan baju yang sama seperti saat di kampus, lengkap dengan tas ransel di punggungnya. Maka itu berarti Bervan langsung datang ke apartemen Alora dari kampus.

Wajah Bervan terlihat datar, tanpa ekspresi, hanya saja tatapannya tajam ke arah Alora.

Bervan tiba-tiba saja memasuki apartemen Alora. Tanpa basa-basi, ia langsung mencium bibir Alora dengan penuh gairah. Tangannya mencengkeram leher Alora, jari-jarinya menelusuri pipinya, seolah ingin memastikan Alora tidak akan kemana-mana. Ciuman itu bukan ciuman lembut yang biasa, melainkan kasar dan agresif.

Bervan kemudian menutup pintu apartemen Alora dengan kakinya, memastikan tidak ada yang akan mengganggu mereka. Ia terus mencium Alora dengan intensitas yang membuat Alora terhuyung mundur. Alora mencoba melepaskan diri, namun Bervan menahannya dengan kuat. Ia terus mencium Alora dengan paksa, menekan tubuhnya ke dinding, menenggelamkan Alora dalam ciumannya.

Alora berusaha melawan, namun Bervan tidak menghiraukannya. Ia terus mencium Alora. Alora terengah-engah, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Bervan, namun Bervan semakin kuat memegangnya.

"Berhenti, Van!"

Alora akhirnya berteriak, suaranya bergetar dengan mata berkaca-kaca.

Bervan berhenti sejenak, matanya menatap Alora dengan tajam. "Kenapa lo harus nolak?" bisiknya, suaranya serak dan penuh nafsu.

"Lepasin aku." Alora memohon, namun Bervan hanya tersenyum sinis.

Bervan menunduk, mencium leher Alora dengan lembut, lalu berbisik, "Sejak kapan lo boleh ngelawan dan nolak gue, hm?"

Alora meringis, tubuhnya gemetar. "Bervan, berhenti. Ini salah."

"Salah?" Bervan terkekeh, suaranya terdengar dingin. "Kenapa salah? Lo pacar gue, terserah gue mau apain lo."

"Pacar?" Alora bertanya, suaranya bergetar, namun ada nada sinis yang tersirat di dalamnya. "Sejak kapan seseorang yang udah punya pacar bisa pacaran terang-terangan sama cewek lain di luar sana?"

"Itu urusan gue, jangan pernah ikut campur urusan gue." Bervan mendekat, matanya menyala-nyala. Ia mencengkeram rahang Alora, memaksanya untuk menatapnya. "Lo harus nurut sama gue, Alora. Ingat itu."

Bervan yang sudah kehilangan kesabaran, mendekat dan mencium Alora lagi dengan sangat brutal. Ciumannya kasar, penuh nafsu, dan tak peduli dengan perasaan Alora. Ia mencengkeram rahang Alora dengan kuat, memaksanya untuk membuka mulut, dan menciumnya dengan paksa.

Alora meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Bervan. Alora menepis tangan Bervan, mendorong dadanya yang bidang dengan sekuat tenaga.

"Cukup, Van!" lagi, Alora berteriak.

Dalam posisi itu, Bervan telah menghentikan ciumannya pada Alora, namun Alora masih terjebak dalam dekapannya. Bervan tidak mau melepaskan pelukan itu, menunjukkan kekuatan dan kontrol yang dimilikinya.

Alora menatap tajam Bervan.

"Cukup, Van," ulang Alora dengan suara yang lebih rendah. "Tolong berhenti."

"Why?"

Alora terdiam, menunduk dalam-dalam. Bervan tetap memeluknya erat, tangannya mencengkeram pinggang Alora dengan kuat. Tatapannya tajam, menelisik wajah Alora yang tertunduk.

Hingga akhirnya, dengan suara yang gemetar, Alora berucap, "Aku mau putus."

Bervan tersentak. Ia melepaskan Alora dengan kasar, tubuhnya menegang. Matanya kini berubah merah padam, penuh amarah. Rahangnya mengeras, gigi-giginya terkatup rapat.

DARK LOVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang