13

510 40 0
                                    

Di tengah malam yang tenang, Alora berada di dapur apartemennya, mengaduk ramen yang dimasaknya dengan hati-hati. Bau kaldu yang mendidih dan uap yang mengepul dari panci adalah satu-satunya hal yang menyertainya di malam sunyi ini.

Selama beberapa hari terakhir, kehidupan Alora terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.

Dan stelah insiden di kantin pagi tadi, ia merasa terpuruk, terutama karena hinaan Bervan yang membuatnya malu dan sakit hati di depan banyak orang. Namun untuk saat ini, ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan memasak, berharap dapat menemukan sedikit ketenangan di tengah kekacauan hidupnya.

Suasana tenang ini terganggu ketika suara pintu apartemen yang terbuka. Alora yang sedang fokus pada ramen di kompor, hanya menganggap ini sebagai kehadiran Bervan yang sudah menjadi hal biasa-- Bervan seringkali pulang larut malam dan mengunjungi apartemennya tanpa pemberitahuan. Meski terkejut, ia tidak merasa perlu banyak berpikir.

Bervan sudah tiba di dapur dan langsung memeluk Alora dari belakang. Genggaman tangannya yang kuat mengalihkan perhatian Alora dari ramen yang hampir siap.

Bervan tentu saja baru kembali dari markasnya setelah berhasil menyelesaikan misinya.

Bervan memeluk Alora erat, dan tanpa berbicara lebih banyak, ia menyentuh leher Alora dengan lembut, menarik rambutnya ke samping untuk mencium kulit lehernya. Alora terdiam, tidak tau harus berbuat apa

Kemudian Bervan berbisik di telinganya, "Gue udah transfer uang ke rekening lo."

Kata-kata Bervan membuat Alora berhenti dari aktivitas memasaknya. Ini bukan kali pertama Bervan melakukan hal seperti ini, mengirimkan uang ke rekeningnya secara tiba-tiba. Alora tidak pernah meminta uang tersebut dan merasa aneh dengan cara Bervan memberi uang tanpa alasan yang jelas. Meskipun Bervan dikenal sebagai pengusaha sukses, Alora tetap merasa ragu tentang sumber uangnya. Ia tau bahwa banyak orang menganggap Bervan sebagai investor kaya, tetapi ia tidak bisa sepenuhnya mempercayai uang yang diterimanya.

"Maaf, Van, aku nggak butuh uang dari kamu," ucap Alora dengan nada dingin, mencoba menolak tawaran itu.

"Anggap aja itu permintaan maaf karena tadi lo nggak termasuk salah satu orang yang gue traktir di kampus." Bervan mengedikkan bahunya.

"Aku juga nggak masalah kalau kamu nggak traktir aku tadi di kampus. Jadi kamu nggak perlu transfer uang itu. Nanti aku transfer balik."

Bervan menunjukkan ekspresi ketidakpuasan. "Lo nggak menghargai gue banget, Ra. Jangan bikin gue marah."

Alora menarik nafas panjang, merasakan tekanan di dadanya. Takut akan kemarahan Bervan yang bisa jadi lebih buruk, ia akhirnya memilih untuk tidak membantah lagi. Perlahan, ia kembali fokus pada ramen yang sedang dimasak, berusaha untuk menenangkan diri.

Saat Alora melanjutkan memasak ramen, Bervan melepas pelukan, kemudian ia berdiri di dekat wastafel, menuangkan air ke dalam gelas dan meminum sambil menatap punggung Alora yang masih membelakanginya.

Sambil memandang Alora yang sibuk memasak, Bervan mengomentari aktivitasnya, "Kenapa masak ramen malam-malam? Itu nggak baik buat kesehatan lo."

Alora hanya mengangkat bahunya, sedikit sinis. "Aku laper," jawabnya singkat.

Sejujurnya, Alora merasa agak bingung. Mengingat betapa seringnya Bervan memperlakukan dirinya dengan kasar dan tidak memedulikan kesehatannya dalam arti yang lebih luas, tentunya komentar Bervan tentang kesehatannya malam ini terasa seperti ironi. Namun, ia memilih untuk tidak memperpanjang perdebatan itu dan melanjutkan memasak ramen.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DARK LOVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang