11

593 47 0
                                    

Bervan membuka pintu apartemen dengan kasar, dan langsung menarik Alora masuk ke dalam tanpa sedikit pun memperhatikan perlawanan kecil yang coba dilakukan oleh Alora. Pintu ditutup dengan suara keras, menggema di seluruh ruangan yang sepi. Alora hampir tidak punya waktu untuk berpikir sebelum tubuhnya didorong keras ke lantai. Rasa sakit menyebar dengan cepat dari kepala yang terantuk ujung lemari. Darah segar mengalir dari luka di pelipisnya, menetes ke lantai.

"Lo mau coba kabur?" Bervan berkata dengan nada rendah, penuh amarah.

Alora merasakan jantungnya berdetak kencang, mulutnya kering, ia tidak tau harus berkata apa. Tubuhnya bergetar, tapi ia tau, apa pun yang ia katakan tidak akan mengubah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Alora hanya bisa menatap koper yang tergeletak tak jauh darinya, bukti yang tak terbantahkan dari niatnya. Ia tau ia tidak mungkin bisa berbohong.

"Aku... aku nggak...." suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Tapi Bervan tidak memberi kesempatan untuk berbicara lebih jauh.

"Lo emang nggak bisa dibilangin ya, Ra? Gue cuma minta lo diem di sini, jangan kemana-mana, tapi lo malah coba kabur," Bervan mendekat, menatap Alora dari atas. "Gue udah ngomong baik-baik, tapi lo nggak pernah mau dengerin. Jadi, lo mau gue ngomong pakai cara apa biar lo paham?"

Alora hanya bisa menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. "Maaf, Van... Aku nggak akan ulangi lagi," bisiknya dengan suara patah-patah.

Namun, permintaan maaf itu hanya membuat Bervan semakin marah. Ia menimpa tubuh Alora yang sudah tergeletak lemah di lantai, mencengkeram dagunya dengan kasar.

"Gue udah bilang, lo nggak bakal bisa kabur dari gue!"

Lalu, tanpa ampun, Bervan menampar wajah Alora dengan keras.

Alora meringis kesakitan, pipinya mulai memerah akibat tamparan itu. Ia mencoba menutupi wajahnya dengan tangan, tapi Bervan lebih cepat dan lebih kuat. Tamparan demi tamparan mendarat di wajah Alora, membuatnya semakin lemah dan tak berdaya.

"Van, tolong, sakit..." Alora berusaha bicara di antara isak tangisnya, tapi Bervan tak mendengarkan.

Saat Alora hampir tak bisa lagi menahan rasa sakit, Bervan mencengkeram lehernya dengan kedua tangan, mencekiknya tanpa belas kasihan.

Mata Alora terbelalak, panik, ia mencoba menarik nafas, tapi udara terasa semakin sulit masuk ke paru-parunya. Ia berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri, tapi sia-sia. Urat-urat di wajah Bervan tampak semakin menonjol, menandakan betapa marahnya ia.

Dunia mulai berputar di sekitar Alora, pandangannya semakin kabur.

"Aku... nggak bisa... nafas..." suaranya terdengar lemah, nyaris hilang di tengah deru nafas Bervan yang penuh amarah. Tapi Bervan tidak berhenti.

Alora mulai merasa semuanya akan berakhir di sini, sampai akhirnya Bervan sedikit melonggarkan cengkeramannya.

Alora terengah-engah, mencoba menghirup udara sebanyak mungkin. Tubuhnya gemetar dan lemah.

Tapi Bervan belum selesai. Ia meraih rambut Alora dengan kasar, menariknya kembali ke posisi duduk. Alora menjerit kesakitan, tapi Bervan tidak peduli. Ia menamparnya lagi, kali ini lebih keras, membuat pipi Alora berdenyut-denyut nyeri.

"Lo bener-bener nggak tau diri, Ra," Bervan mendesis di telinga Alora. "Gue udah bilang, jangan mancing emosi gue. Tapi lo nggak pernah mau dengerin."

Alora hanya bisa menangis, air mata bercampur dengan darah yang mengalir dari luka di kepalanya. Ia tau ia tak bisa melawan. Rasa sakit itu terlalu besar, dan ketakutan itu terlalu kuat.

DARK LOVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang