06

678 96 65
                                    

Alora melangkah keluar dari kelas dengan niat untuk pergi ke supermarket sebelum pulang. Namun, sebelum berangkat, ia memutuskan untuk mencuci muka terlebih dahulu di toilet kampus. Matahari sudah condong ke barat, dan kampus mulai sepi.

Saat membuka pintu toilet, Alora terkejut melihat pemandangan di dekat wastafel. Di sana, Bervan sedang berdiri sangat dekat dengan seorang perempuan yang tidak dikenal Alora. Bervan sedang mengelus pipi perempuan itu dengan lembut, sementara perempuan itu tampak tersenyum dan menyandarkan kepalanya pada lengan Bervan.

Alora membeku di pintu toilet, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia tidak tau perempuan itu. Perempuan itu bukan Luna, pacar baru Bervan, tapi perempuan lain yang asing baginya.

Bervan yang awalnya tidak menyadari kehadiran Alora, akhirnya menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara pintu terbuka. Ekspresi wajahnya tetap datar dan dingin, tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Ia hanya melirik Alora sekilas dan mengabaikannya.

"Ngapain masih si situ?" Bervan bertanya dengan nada kasar. Suaranya penuh kebencian dan ketidaksenangan. “Gara-gara lo, ruangan ini ikutan gelap.”

Alora terkejut dan merasa sangat tersinggung. Alora merasakan air mata menggenang di matanya.

Ia berbalik dan pergi dengan langkah cepat, hatinya hancur karena melihat Bervan bersama wanita lain dan mendengar hinaan yang ditujukan kepadanya. Pikirannya bercampur aduk, merasa sakit dan tertekan oleh sikap Bervan yang begitu tidak peduli dan kejam.

Alora keluar dari kampus dengan langkah yang cepat, berusaha menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. Alora memanggil taksi online yang telah dipesannya dan segera masuk ke dalam mobil.

Di dalam taksi, Alora duduk dengan wajah tertunduk, mencoba untuk mengendalikan emosinya. Ia menghindari melihat ke luar jendela, fokus pada nafasnya yang dalam dan berusaha menenangkan diri. Pikiran tentang pemandangan yang baru saja dilihat di toilet kampus dan kata-kata Bervan yang penuh kebencian terus menghantui pikirannya.

Setibanya di supermarket, Alora membayar taksi dan keluar dengan langkah lemah. Ia memasuki supermarket dengan kepala tertunduk, berusaha menyembunyikan kesedihannya dari orang-orang di sekelilingnya. Beberapa kali ia harus berhenti untuk mengatur napas dan menyeka air mata yang tak kunjung berhenti.

Alora memilih beberapa barang yang dibutuhkannya, termasuk bahan-bahan untuk makan malam sederhana.

Alora memutuskan untuk tidak menghubungi Bervan. Awalnya, ia berniat untuk memberitahukan Bervan bahwa ia akan pergi ke supermarket terlebih dahulu sebelum pulang. Tapi setelah apa yang dilihatnya di toilet kampus, ia merasa tidak ada gunanya untuk mengabari Bervan.

Sampai akhirnya dia selesai berbelanja, Alora menaruh barang-barangnya di keranjang dan menuju kasir.

Meskipun supermarket tersebut ramai, ia merasa terasing dan tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Lagi-lagi diasingkan karena warna kulitnya yang berbeda.

Selesai berbelanja, Alora memutuskan untuk berjalan kaki pulang ke apartemennya. Meski jaraknya cukup jauh, ia merasa berjalan kaki adalah cara terbaik untuk menenangkan pikirannya dan melepaskan kepenatan emosionalnya.

Matahari mulai terbenam, dan suasana senja menambah keheningan malam.

Alora menemukan sebuah jalan yang sepi, dengan sedikit penerangan dari lampu jalan yang menerangi suasana. Alora merasa jalan ini memberi kesempatan untuk merenung tanpa gangguan.

Ia duduk di trotoar, menjulurkan kakinya dan menaruh barang belanjaan di sampingnya. Posisi duduknya membuatnya merasa agak lebih nyaman meski suhu malam yang dingin mulai menyusup ke tubuhnya. Alora melihat ke depan dengan tatapan kosong, membiarkan pikirannya melayang.

DARK LOVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang