12

518 43 1
                                    

Alora duduk di kantin kampus, menyantap makan siangnya sambil mencoba mengabaikan kebisingan di sekelilingnya. Suara percakapan mahasiswa memenuhi ruangan, dan meskipun ia berusaha fokus pada makanannya, ia tidak bisa menahan rasa penasaran saat mendengar nama Bervan disebut-sebut oleh beberapa orang di meja sebelah.

Dengan rasa ingin tau, Alora membuka ponselnya dan mengakses halaman berita kampus yang sering diperbarui. Alora mengetikkan nama Bervan di kolom pencarian, berharap untuk menemukan sesuatu yang menjelaskan semua obrolan yang ia dengar.

Ternyata, berita yang muncul adalah tentang sumbangan besar yang baru saja diberikan oleh Bervan untuk kampus mereka. Artikel itu dipenuhi dengan pujian-pujian dari mahasiswa dan pihak kampus.

"Bervan baru saja menyumbangkan dana yang sangat besar untuk kampus kita. Pihak kampus sangat menghargai kontribusinya dan mengucapkan terima kasih secara terbuka," tulis artikel itu.

Alora membaca lebih lanjut, hingga menemukan informasi bahwa sumbangan tersebut digunakan untuk berbagai proyek sosial dan fasilitas kampus.

Artikel itu juga menambahkan bahwa meskipun Bervan dikenal sebagai seorang pengusaha muda sukses yang berinvestasi di properti mewah, restoran, dan perusahaan teknologi start-up, ia masih menyempatkan diri untuk berkontribusi pada masyarakat. Pujian untuk Bervan melimpah, dengan mahasiswa menyebutnya sebagai "dermawan" dan "figur teladan" meskipun ada catatan negatif tentang kebiasaannya dalam hubungan pribadi.

Alora merasa janggal. Ia tau sisi gelap Bervan yang tidak pernah tampak di depan publik. Ia sadar bahwa di balik citra dermawan dan pengusaha sukses itu, ada perilaku dan tindakan yang sangat berbeda.

"Sayang banget orang-orang nggak tau kalau Bervan itu psikopat."

Di mata orang-orang di kampus, Bervan adalah sosok yang sangat dikagumi, tampan, kaya, dan peduli. Sifat buruk Bervan yang suka bermain perempuan tidak tampak mengganggu citra positifnya. Bahkan, kepeduliannya terhadap berbagai proyek sosial dan kontribusinya pada kampus membuatnya dianggap sebagai figur yang patut dicontoh.

Sedang asyik membaca, suara riuh mendadak menggema di kantin. Alora mendongak dan melihat Bervan baru saja masuk bersama pacar barunya, Jenny. Pasangan itu langsung menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju pada mereka, dan tak sedikit yang langsung melontarkan pujian dan sapaan hangat.

Bervan, dengan senyum lebar yang terkesan angkuh, melambaikan tangan pada semua orang. "Gue traktir kalian semua hari ini. Bebas pesan apa aja, gue yang bayar!"

Sorak-sorai langsung membahana di seluruh kantin. Mahasiswa-mahasiswa berlarian menuju kasir untuk memesan makanan dan minuman. Tawa dan canda mewarnai suasana kantin, semua tampak begitu senang dengan tawaran Bervan yang tiba-tiba.

Namun, di tengah kegembiraan itu, Bervan tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke pojok kantin, tempat Alora duduk sendirian. Dengan nada sinis, ia berkata keras, "Oh iya, gue traktir semua orang, kecuali cewek kulit item di pojok sana."

Suasana kantin mendadak berubah. Tawa keras dan sorakan langsung pecah lagi, menghina dan mengolok Alora tanpa ampun. Beberapa mahasiswa bahkan dengan sengaja memutar kepala mereka untuk memastikan Alora mendengar ejekan itu.

Alora merasakan pipinya memanas, bukan hanya karena malu, tapi juga karena rasa sakit yang menghujam hatinya. Ia hanya bisa duduk diam, menggenggam erat-erat ujung meja di depannya. Kepalanya tertunduk, berusaha menutupi wajahnya yang kini terasa panas oleh air mata yang hampir tak bisa ia tahan.

Tanpa berkata apa-apa, Alora akhirnya memutuskan untuk bangkit dari kursinya. Dengan langkah yang pelan tapi pasti, ia meninggalkan kantin, membiarkan suara tawa dan sorakan mereka semakin jauh di belakang. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, tapi ia tau, ia tidak bisa memberikan mereka kepuasan dengan melihatnya menangis.

DARK LOVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang