05

722 97 49
                                    

Saat Bervan dan Alora berjalan menuju balkon, tiba-tiba ponsel Alora bergetar, menandakan ada telepon masuk. Alora mengambil ponselnya yang terletak di meja dapur dan melihat nama Pak Arya, dosen akademik, muncul di layar. Dengan rasa penasaran dan sedikit cemas, ia menjawab panggilan itu.

"Selamat pagi, Pak Arya," sapa Alora, suaranya sedikit bergetar.

Pak Arya terdengar serius saat menjawab, "Selamat pagi, Alora. Maaf mengganggu di saat seperti ini, tapi ada berita penting yang harus saya sampaikan."

Alora merasa jantungnya berdegup kencang. "Ada apa, Pak?"

Pak Arya melanjutkan, "Saya baru saja menerima kabar bahwa Austin ditemukan tewas di rumahnya sendiri pagi ini. Dia ditemukan dalam keadaan tidur, dan penyebab kematiannya masih dalam penyelidikan polisi."

Kata-kata Pak Arya membuat Alora terkejut. "Tewas? Gimana bisa, Pak? Kemarin Austin sehat-sehat aja di kampus."

Pak Arya menghela nafas, "Memang itu yang membuat kami semua terkejut. Saat ini, pihak kepolisian masih mencoba mencari tau penyebab pasti dari kematiannya. Ada dugaan awal, tapi belum ada informasi yang jelas."

"Terima kasih informasinya Pak," jawab Alora dengan suara yang mulai bergetar.

Alora terdiam, terhuyung oleh berita yang baru saja diterimanya. Suara Pak Arya masih terngiang dalam pikirannya, dan nama Bervan berputar-putar di kepalanya. Ancaman Bervan dua hari lalu menguatkan kecurigaannya bahwa Bervan mungkin terlibat dalam kematian Austin.

Ketika Alora melirik ke arah Bervan, ia melihat Bervan menatapnya dengan tatapan tajam. Bervan mengedipkan mata dengan sikap acuh tak acuh, seolah mengatakan bahwa ia tau sesuatu. Alora merasa jantungnya berdegup kencang, merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Dengan nada dingin dan santai, Bervan akhirnya mengungkapkan, "Gue yang bunuh Austin."

Alora terkejut dan memandang Bervan dengan mata membelalak. "Apa? Kenapa, Van?"

Bervan mengangkat bahu, tampak tidak peduli. "Dia terlalu deket sama lo."

Alora terdiam sejenak sebelum melawan, suaranya tegas. "Aku udah minta Austin untuk ngejauh dari aku, dan dia udah setuju. Kenapa kamu tetap bunuh dia, Van?"

Bervan tetap santai, seolah tidak ada yang serius dari pertanyaannya. "Tapi nyatanya itu masih nggak cukup buat gue. Selama dia masih ada, gue nggak bisa tenang."

"Tapi aku nggak suka cara kamu nyelesain masalah, Van. Tolong berhenti bunuh orang yang nggak bersalah."

Bervan yang mendengar nada suara Alora seolah membela Austin, tentunya kemarahannya meledak. Dengan emosi yang tak tertahan, Bervan menaruh mangkok sup yang masih panas di meja, lalu mengambil salah satu mangkok dan tanpa ragu menyiramkan isinya ke arah Alora. Sup yang panas mengenai tangan Alora, dan Alora langsung mengerang kesakitan sambil menarik tangannya.

Bervan tetap dengan ekspresi dingin. "Ini hukuman buat lo, Alora. Lo udah belain cowok lain di depan gue."

"Kamu jahat, Van."

Alora menatap Bervan dengan mata yang berair, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Tangan yang terbakar itu mengeluarkan rasa sakit yang menusuk dan menghilangkan kemampuannya untuk berpikir jernih.

Tanpa kata-kata, Alora berlari ke kamarnya, menutup pintu dengan terburu-buru dan menguncinya dari dalam. Begitu pintu terkunci, ia segera mencari kotak P3K yang disimpan di sudut kamar.

Tangannya bergetar saat ia membuka kotak P3K dan mengambil peralatan untuk merawat lukanya. Alora mencoba untuk tetap tenang saat mengoleskan salep luka pada kulitnya yang terbakar. Setiap gerakan terasa menyakitkan.

DARK LOVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang