10

549 48 0
                                    

Pagi ini suasana di luar apartemen terasa sangat suram. Langit mendung yang tebal menutupi cahaya matahari, membuat pagi yang biasanya cerah, terasa seperti senja. Hujan turun deras, mengetuk-ngetuk kaca jendela dengan ritme yang tak beraturan.

Di balkon yang tidak terlalu luas, Alora duduk sendirian, memeluk lutut dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang secangkir coklat hangat yang mulai mendingin.

Rasa sakit di lengannya yang terluka masih terasa, perih yang mendalam menyelinap setiap kali perban menyentuh kulitnya yang robek. Luka-luka itu baru saja ia rawat sendiri dengan perban seadanya yang ia temukan di apartemen. Rasa perihnya mengingatkan Alora pada kejadian semalam, ketika Bervan dengan kejam menggoreskan pisau ke lengannya.

Setelah menyakiti Alora semalam, Bervan pergi begitu saja tanpa kembali hingga pagi ini. Alora tak tau kemana Bervan pergi, tapi ia bersyukur atas ketidakhadiran pria itu. Setidaknya, untuk beberapa saat Alora bisa bernafas tanpa merasa terancam.

Pikiran untuk kabur semakin kuat di benaknya. Alora tau, ia tidak bisa terus-menerus berada dalam situasi ini. Ia harus mencari cara untuk pergi, meninggalkan Bervan dan semua kenangan buruk yang terus membayangi hidupnya. Namun, ia juga sadar bahwa ini bukan waktu yang tepat. Bervan mungkin akan segera kembali, dan jika ia tau Alora berencana kabur, amarahnya bisa menjadi lebih buruk.

Tiba-tiba, suara pintu apartemen yang terbuka membuat jantung Alora berdebar kencang. Ia tau itu pasti Bervan. Nafasnya menjadi pendek-pendek, tetapi ia tetap diam, tidak beranjak dari tempat duduknya. Bervan memanggil nama Alora dari dalam apartemen, suaranya terdengar samar karena derasnya hujan yang menghantam atap.

Alora tetap membisu, berharap Bervan akan menganggapnya tidak ada. Tapi langkah kaki Bervan semakin mendekat. Hingga akhirnya, Bervan muncul di balkon, mengenakan kemeja putih polos yang sedikit basah oleh hujan. Celana hitamnya yang pas di tubuh, bersama dengan rambutnya yang basah kuyup, membuatnya tampak semakin tampan.

Bervan menatap Alora sejenak, sebelum berjalan mendekatinya dengan senyum yang anehnya lembut. Tanpa ragu, ia merangkul Alora dari samping, tubuhnya yang dingin menyentuh kulit Alora yang gemetar.

"Pagi, sayang. Udah sarapan?"

Alora hanya bisa menatap ke depan, matanya tak sanggup bertemu dengan pandangan Bervan.

“Udah,” jawabnya singkat, suaranya hampir tak terdengar, tenggelam dalam derasnya hujan.

Kemudian Bervan mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Sebuah bouquet bunga mawar merah yang tampak segar meski sedikit basah.

"Ini buat perempuan paling penting di hidup gue," lanjutnya, menyerahkan bunga itu kepada Alora.

Alora menerima bunga itu dengan tangan gemetar, senyum getir terpaksa terukir di bibirnya. Bunga yang indah itu terasa seperti simbol ironi yang kejam, kontras dengan perbuatan Bervan yang begitu kasar dan menyakitkan.

"Makasih, Van," ucapnya pelan, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takut yang menyelimuti hatinya.

Bervan kemudian menurunkan tubuhnya, duduk di lantai tepat di depan Alora yang masih duduk di kursi balkon. Tatapan matanya tertuju pada lengan Alora yang terluka, dan dengan gerakan lembut, ia meraih tangan Alora, menyentuh perban yang melilit lengannya.

"Sakit banget ya, Ra? Maaf ya. Tapi lo tau kan, kalau gue nggak akan berhenti," katanya, dengan nada yang seolah-olah itu adalah permintaan maaf yang tulus.

Alora menelan ludah, hatinya dipenuhi ketakutan yang makin membesar. Ia hanya bisa mengangguk, dua kali, dengan senyum yang begitu pahit di wajahnya. Senyum yang ia paksakan untuk menutupi perasaan takut dan keputusasaan yang sesungguhnya.

DARK LOVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang