03

908 117 75
                                    

Alora berjalan menuju kelas dengan langkah yang terasa berat. Setiap langkahnya diiringi dengan tatapan sinis dan bisikan cemoohan dari mahasiswa lain. Seperti biasa, ejekan tentang kulitnya yang gelap sudah menjadi hal lumrah, bahkan ketika ia berusaha untuk tidak memperdulikannya, itu tetap menyakitkan.

Di koridor, Alora merasa seseorang melemparkan kertas ke arahnya. Kertas itu mendarat di kakinya, tapi Alora tidak menoleh. Ia menunduk, menarik nafas panjang, dan tetap melanjutkan langkahnya.

Sesaat sebelum ia masuk ke dalam kelas, seorang mahasiswa tiba-tiba berdiri di depannya, menghalangi jalannya.

"Hei, Alora, kan?" Suara pria itu membuat Alora mengangkat wajahnya. Di depannya berdiri seorang pria tinggi dengan senyum ramah, berbeda dengan tatapan yang biasa ia terima.

"Iya, aku Alora," jawab Alora dengan hati-hati. Ia tidak mengenali pria ini dan sedikit curiga dengan niatnya.

Pria itu tersenyum lebih lebar. "Nama gue Austin. Gue kakak tingkat lo, dan gue diminta sama pengurus akademik untuk nyamperin lo."

Alora mengerutkan kening, masih bingung dengan maksud kedatangan Austin. "Untuk apa?"

Austin mengangkat bahunya dengan santai. "Gini, lo pasti udah dengar tentang Olimpiade Nasional Matematika, kan? Nah, kampus kita diminta kirim perwakilan, dan lo salah satu yang terpilih. Gue juga ikutan, jadi kita bakal satu tim."

Mendengar itu, mata Alora sedikit membesar. Matematika selalu menjadi salah satu minat terbesarnya, dan kesempatan untuk mewakili kampus di tingkat nasional tentu menarik baginya.

"Kenapa harus aku?" tanya Alora ragu.

Austin tertawa kecil. "Karena lo salah satu mahasiswa terbaik di kelas matematika. Gue denger nilai lo selalu bagus, dan dosen lo rekomendasiin lo langsung ke pengurus akademik. Makanya, selesai kelas ini, lo ikut gue buat ketemu dosen di akademik, buat kita bahas lebih lanjut soal olimpiadenya."

Alora terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia terima. Di satu sisi, ia merasa sedikit bangga karena kemampuannya diakui, tapi di sisi lain, ia tidak ingin terlalu berharap.

"Oke," akhirnya Alora mengangguk pelan. "Aku bakal ikut."

Austin tersenyum lebar, tampak puas dengan jawaban Alora. "Bagus, gue yakin kita bisa jadi tim yang solid. Kita ketemu di luar kelas nanti, ya."

Dengan lambaian tangan yang ramah, Austin melangkah pergi, meninggalkan Alora yang masih mencerna apa yang baru saja terjadi.

Namun, satu hal yang pasti, Austin telah menunjukkan padanya bahwa tidak semua orang di kampus ini memandangnya dengan hinaan. Dan kesempatan ini adalah sesuatu yang tak ingin ia sia-siakan.

Setelah Austin pergi, Alora bersiap untuk masuk ke dalam kelas. Tanpa ia sadari, dari dalam kelas, sepasang mata tajam mengamati setiap gerakannya. Bervan, yang duduk di salah satu deretan kursi di dalam, memperhatikan percakapan antara Alora dan Austin. Dari posisinya, Bervan bisa melihat dengan jelas bagaimana Austin mendekati Alora, berbicara dengannya dengan senyum yang ramah, dan bagaimana Alora menanggapinya.

Bervan, yang merasa cemburu dan terancam oleh kedekatan Alora dengan Austin, mengepalkan tangannya erat di bawah meja. Pikiran tentang Alora berbicara dengan pria lain, bahkan dengan cara yang terlihat akrab, membuatnya semakin marah. Rasa posesif dan kecemburuan yang telah lama ia pendam kini mulai muncul ke permukaan, dan ia tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.

DARK LOVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang