07

618 65 23
                                    

Sudah tiga hari berlalu sejak Alora terakhir kali masuk kuliah. Luka-luka di wajah dan tubuhnya masih belum sembuh total, bahkan beberapa masih basah dan terasa perih. Selama tiga hari ini, Alora benar-benar mengurung diri di apartemennya. Namun, setiap hari Bervan tetap datang mengunjunginya, memastikan Alora baik-baik saja meski dengan caranya yang dingin dan posesif.

Pagi ini, Alora merasa sedikit lebih baik. la memutuskan untuk mandi, berharap bisa merasa lebih segar.

Apartemennya sepi, karena semalam Bervan sudah pulang ke rumahnya sendiri, meninggalkan Alora sendirian. Ini adalah momen langka di mana Alora bisa benar-benar sendiri dan tidak merasa diawasi.

Selesai mandi, Alora keluar dari kamar mandi. Tubuhnya masih basah, hanya ditutupi handuk yang melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah juga dibungkus handuk kecil.

Namun, begitu Alora membuka pintu kamar mandi dan melangkah keluar, ia langsung terkejut.

Di atas tempat tidurnya, Bervan terlihat sedang tiduran santai sambil memainkan ponsel. Mata Bervan segera beralih dari layar ponselnya ke arah Alora, dan ponsel itu langsung ia letakkan di atas kasur, seolah pemandangan Alora yang hanya mengenakan handuk lebih menarik perhatiannya.

Alora terdiam sejenak, kaget dan panik. la tidak menyangka Bervan akan kembali dan apalagi sudah ada di kamarnya tanpa sepengetahuannya. Dengan wajah memerah, Alora mencoba menutupi tubuhnya lebih rapat dengan tangannya sendiri.

"Kamu ngapain di sini? Keluar, aku malu!" serunya dengan nada protes, merasa privasinya benar-benar dilanggar.

Bervan yang tadinya tampak terkejut, justru menyeringai. Matanya menatap Alora dengan penuh arti, membuat gadis itu semakin gugup. "Gue kangen, makanya gue balik lagi," jawabnya dengan nada menggoda sambil bangkit dari tempat tidur, tak mengalihkan pandangannya dari Alora.

Alora semakin merasa terpojok. la mundur beberapa langkah, tapi ruang kamarnya yang sempit membuat punggungnya akhirnya menabrak dinding. Bervan tidak berhenti, ia terus mendekat dengan langkah pelan namun mantap, seolah tau persis bahwa Alora tidak punya jalan untuk melarikan diri.

Bervan berhenti tepat di depan Alora, tubuhnya yang tinggi menjulang seakan mengurung gadis itu di antara dirinya dan dinding. la menempelkan satu tangan ke dinding, tepat di samping kepala Alora, dan dengan tangan yang lain, ia mengelus pipi Alora yang masih lembap, sentuhannya begitu lembut namun memicu ketegangan.

"Lo manis banget, Ra," gumam Bervan sambil tersenyum miring. Lalu tanpa aba-aba, ia mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibir Alora dengan cepat, membuat gadis itu membelalakkan mata.

Ciuman singkat itu hanya permulaan. Bervan menatap Alora dengan tatapan penuh nafsu sebelum kembali menempelkan bibirnya ke bibir Alora, kali ini lebih lama dan penuh gairah.

Alora berusaha menolak, tetapi tubuhnya seolah membeku, dan ia hanya bisa merasakan tangan Bervan yang mulai bergerak mengelus leher, pipi dan bagian-bagian lain tubuhnya, seakan ingin merasakan setiap inci kulitnya yang terbuka.

Ciuman itu semakin dalam, membuat Alora kesulitan bernafas. la mencoba mendorong dada Bervan, tetapi pria itu terlalu kuat. Dengan sisa tenaga yang ada, Alora akhirnya berhasil memisahkan mereka, mendorong Bervan hingga ia mundur beberapa langkah.

"Aku... aku mau pakai baju dulu, Van," ucap Alora dengan suara gemetar, nafasnya terengah-engah dan jantungnya berdegup kencang.

Bervan menatapnya dengan tatapan tajam, seolah mempertimbangkan apakah ia akan membiarkan Alora pergi atau tidak.

Akhirnya, ia mengangguk pelan, tetapi tidak tanpa permintaan.

Bervan menatap Alora intens, kemudian Bervan mengarahkan wajahnya ke samping dan menunjuk pipinya sendiri dengan satu jari, "Cium dulu."

DARK LOVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang