02

5.9K 419 59
                                    

JOKO TEO WULANDHANA

Aku merasa hubunganku dengan Tampan semakin mengerat. Tampan masih perhatian. Aku yang makin sayang padanya. Dan juga momen-momen manis yang kami selalu lalui bersama. Bukan hubungan namanya kalo nggak ada krikil-krikil kehidupan. Terlebih, ketika dunia tahu bahwa kami berbeda. Nggak jarang tatapan kebencian terarah pada kami secara terang-terangan.

Aku masih Teo. Joko Teo Wulandhana. Anak dari bapak Joko dan ibu Wulan. Jangan ingatkan aku soal Arfan. Dia udah nggak di sini. Arfan pindah secara diam-diam. Maksudku, tiba-tiba saja pindah. Meskipun yaaa, pada akhirnya berita itu tercium juga. Di situ aku sedikit melega. Karena aku nggak perlu memikirkan lelaki itu lagi.

Ngomong-ngomong, aku sedang di pinggir lapangan sekolah sekarang. Menunggu seseorang menerima pesanku. Dia sedang memakan cilok di bawah pohon. Entah ya, rasanya baru kali ini aku lihat cowok itu makan cilok. Sebelum akhirnya, dia membuka ponselnya, dan menyadari keberadaanku.

“Mau cilok?”

“Nggak. Mulutnya belepotan, tuh!” kataku. Nggak sampai sok-sok romantis membersihkan noda itu dari mulutnya. Secara inisiatif Tampan bergerak. Membersihkannya sendiri. “Nanti jadi?”

“Jadi, lah. Yoyo pulang dulu aja. Nanti Tamtam jemput.”

“Bukannya Tamtam ada latihan perkusi?” tanyaku, menyebut serta panggilan kesayangannya. Yaahh, pada akhirnya kami mau mempunyai panggilan kesayangan. Meski pada awalnya terasa aneh dan geli untukku.

Dia memilih memanggilku “Yoyo”, dan itu punya makna. Katanya, semoga aku juga seperti yoyo, yang selalu kembali pada tuannya, meskipun keadaan membuat jarak antara pemilik dan si yoyo ketika dilemparkan. Dan selalu ada pada genggamannya.

Dan aku memanggilnya “Tamtam”. Entahh sih. Aku pikir sikapnya selalu terkesan manis seperti jajanan coklat yang selalu aku makan ketika istirahat: Timtam. Yah, aku memang nggak bisa sefilosofis Tampan. Tapi Tampan menyukainya.

“Iya. Makanya Yoyo pulang dulu. Mandi yang wangi. Terus jalan, deh.”

“Jadi Yoyo bau, dong?”

“Yoyo yang bilang, wlee!”

Aku mendesis. Tampan entah kenapa tergelak. Jadi semuanya udah  fix. Sore ini kami akan berkencan. Setelah latihan perkusi, niatnya Tampan akan menjemputku.

Dan sesuai rencana, sepulang sekolah aku langsung mandi. Belum memakai pewangi. Aku nggak mau pewangi itu menguar ketika menunggu Tampan. Nggak lupa juga memilih baju yang sekiranya belum pernah aku pakai. Hmm, stok bajuku terbilang sedikit. Beberapa kali ini aku mengenakan baju yang sama ketika berkencan dengan Tampan sebelum-sebelumnya. Aku mah apa atuh? Beli baju baru pas lebaran doang?

Dua jam kemudian Tampan menelponku. Di situ aku mulai mengenakan pewangi. Seperti biasa, dia menunggu di ujung gang. Yaaa, karena gang rumahku nggak mungkin untuk dilalui sebuah mobil. Bisa sih sebetulnya, asal siap-siap aja kena demo orang satu gang karena memblokir jalan satu-satunya mereka.

“Kayaknya ini bukan parfum yang kemaren?” ujar Tampan tiba-tiba. Alisnya berkerut.

“Gimana enak, nggak?”

“Bikin puyeng!”

“Masa?”

“Puyeng keinget kamuuu.”

Sumpah, Tampan memang kadang menyebalkan. Bukannya marah, tengkukku justru terasa panas. Antara  malu dan geli. Semoga aja mukaku nggak berubah merah, ya? “Ih, seriusaann!”

“Enak, sih, cuma kek terlalu semerbak aja, gitu! Tapi suka, kok.” Tampan mulai melajukan mobil. Berbaur dengan kendaraan lainnya. Kami ingin makan sebetulnya, habis itu nonton, habis itu jajan, pokoknya having fun, lah. Dua minggu ini kami fokus pada pelajaran. Ulangan tengah semester membuat kami sedikit mengenyampingkan kencan. Nggak sampai break sih untungnya. Karena kami tahu kapan harus kangen-kangenan dan kapan harus fokus pada pelajaran.

AKU DAN DIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang