08

2.1K 216 7
                                    

JOKO TEO WULANDHANA

Aku kembali bertemu Mavin, tepatnya kemarin, di tempat latihan. Kami berbincang singkat. Tapi nampaknya berbincangan itu hanya sambil lalu karena Mavin sendiri kelihatan sedang sibuk. Aku baru tahu kalau cowok itu juga memilih latihan di tempat ini. Oh ya, aku lupa, ini tempat umum. Semua orang boleh kesini kapan aja. Termasuk Mavin.

Tapi… bukan itu yang jadi masalah.

Aku merasa… aku mendapat sinyal kurang enak dari anak bernama Mavin ini.

Oke, aku nggak lagi menuduh siapapun! Aku nggak lagi menyalahkan pihak manapun! Yang namanya prasangka hanyalah prasangka. Bisa jadi benar atau bahkan justru salah! Tapi… hatiku selalu menolak ketika nama Mavin kuajak untuk berpikiran positif. Pikiran negatifku lebih mendominasi. Merundungi nama Mavin. Menempatkannya di tempat di mana aku selalu berpikir curiga. Curiga atas apa?

Aku sendiri belum tahu.

Oke, mungkin aku gila. Aku udah menuduh anak orang tanpa bukti. Yang jelas-jelas aku nggak tahu siapa dia dari sisi manapun. Lagi-lagi perasaanku yang memberitahuku. Menciptakan sebuah spekulasi tanpa alasan yang jelas.

Mungkin prasangka burukku pada Mavin datang karena dua hal.

Pertama, aku pernah melihat Mavin memoto Tampan diam-diam. Dan yahh, buatku, itu satu hal yang konyol yang pernah terbesit di pikiranku. Mungkin aja dia sedang ngefoto kelas XI IPA 3 waktu itu? Tentu Tampan jadi salah satu objeknya?

Kedua, kehadiran Mavin di UKS. Yah, yang itu juga pemikiran konyol yang pernah terbesit di otakku juga. Karena aku nggak mungkin melarang siapapun buat nolong Tampan.

Intinya, sepanjang aku memikirkan Mavin, aku terus menggeleng, mengeyahkan semua pikiran buruk jatuh padanya. Karena aku tahu, rasanya dicurigai tanpa alasan itu nggak enak.

“Yaudah diem! Nggak sakit enggak, kok!”

“Bentar! Bentar dulu! Tamtam belum siap, Yoo!”

“Siapnya mau kapan, hm? Buruan buka!”

“Nanti sakiit!”

“Enggaaaak. Percaya, deh!”

“Bohong! Yang kemaren aja sakit, kok!”

“Itu kan yang kemaren? Yoyo mah pelan dan nggak bakalan sakit.”

“Nggak, ah! Perih, Yooo! Periiihhh!”

Aku nggak ngerti kenapa Tampan setakut ini sama obat merah? Padahal pembungkus luka Tampan udah seharusnya diganti. Kesayanganku ini masih cemberut, mengelak ketika wajahnya ditarik, mendekap gulingku lebih erat dan menutupi wajahnya rapat-rapat. Kamarku yang semula rapih, berhasil dibuatnya berantakan. Dasar, ya? Padahal empus kami nggak serempong ini, lho? Ini papahnya malah lebih rempong ngalahin emak-emak ketika ditagih kreditan panci!

“Hayooook, nurut, hayooook?”

“Nggak!”

“Itu lama-lama bernanah gimanaa??”

“Tadi Yoyo nggak bilang tuh mau obatin lukanya? Yoyo bilang mau ajak Tamtam main kuda-kudaan!” katanya, masih menutupi kepalanya dengan guling.

Yahh kalo nggak gitu mana dia mau dateng kesini? Aku nggak tega Mbok Surti terus kena marah Tampan gara-gara menolak diobati. Jadi terpaksa, aku pura-pura minta “kuda-kudaan” alih-alih merayu Tampan kesini. Toh nggak salah juga, kan? Ini semua demi kebaikan Tampan.

“Tamtam nggak suka kalo Yoyo udah main-main kekgini!” lanjutnya. Sial, dia beneran ngambek. Aku mencoba menarik kakinya, dan dengan cepat cowok itu menepis tanganku. “Jangan sentuh-sentuh!”

AKU DAN DIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang