06

2.5K 277 26
                                    

JOKO TEO WULANDHANA


Ngomong-ngomong, kalian masih ingat dengan anak-anak jalanan di kolong jembatan yang dulu pernah Tampan bawakan banyak buku-buku cerita itu?

Ya, aku masih sering  menjumpai mereka. Mereka masih sama, anak-anak polos nan  lugu yang masih memimpikan kedatangan kardus berisikan buku-buku. Bagi mereka, buku adalah mainan. Sebuah wahana imajinasi dimana mereka bisa menghabiskan waktu sepanjang hari. Aku senang karena kehadiranku bisa menciptakan senyuman di bibir mereka, yang awalnya kupikir nggak akan berdampak sebesar itu.

“Kak Teo! Ini dibacanya apa?”

Global warming.”

“Artinya apa?”

“Pemanasan global.”

Bocah itu, namanya Anton, mendadak berkerut. “Bukannya Kak Teo pernah bilang kalo ‘warm’ artinya ‘cacing’? Kok...jadi panjang gitu?”

“Oalaahhh itu ‘worm’,” aku mengambil buku dan pulpen. Memberikan sedikit penjelasan. “’warm’ itu artinya ‘hangat’, tapi ‘warming’ di sini artinya ‘pemanasan’. Artinya situasi di mana bumi mengalami peningkatan suhu. Jadi buminya panas gitu, Ton. Nahh bisa banyak faktor, tuh!  Mulai dari polusi udara, kebakaran hutan, sampe efek rumah kaca.”

“Efek rumah kaca itu apa, Kak?”

“Suhu panas yang terperangkap di permukaan bumi, Ton. Jadi panasnya nggak bisa balik ke langit.”

“Kok bisa gitu, Kak?”

“Ya karena terhalang awan itu. Awan yang kakak maksud di sini kayak polusi udara, asap kendaraan, asap pabrik, nahh mereka itu ngumpul jadi satu di atas sana. Jadinya panas yang harusnya naik ke langit, eh, kehalang! Makanya akhir-akhir ini kalo siang panas banget, kan?”

Dan Anton pun manggut-manggut. “Jadi harus jangan buang sembarangan ya, Kak?”

“Betul! Itu salah satu penyebabnya. Seratus buat kamu!”

“Yeee! Aku paham sekarang!” melihat Anton tersenyum, aku turut bahagia. Spontan tanganku bergerak, mengusap puncak kepalanya. “Mulai sekarang nggak mau ah buang sampah sembarangan!”

“Harus dong! Buang sampah ya di tempat sampah.”

Namun sayang, momen kami nggak bisa berlangsung lebih lama. Lima belas menit kemudian, aku pamit. Lebih awal dari biasanya. Bukan pulang ke rumah, melainkan latihan menari. Ketika membuka ponsel, dua pesan Siti terpampang di ponselku. Menanyakan apakah aku bisa datang lebih awal atau enggak. Dan yaa, motorku masih di bengkel. Jalan keluarnya apa lagi kalo bukan Go-jek. Jadi terpaksa, aku memohon pada Siti untuk sedikit bersabar.

Aku datang satu jam kemudian. Dengan Siti dan Mbak Ranti yang sudah menunggu di ruangan lebih dulu. Untungnya Mba Ranti santai-santai aja. Jadi aku sedikit melega. Meski pada akhirnya aku tetap harus mendapat omelan dari Siti juga.

“Maaf, Ti. Abang ojeknya yang lama. Aku mah udah siap dari kamu nge-WA.” Meskipun nggak sepenuhnya jujur, aku berusaha membuat alasan. Dengan menjadikan abang Go-jek biang keladinya.

“Hmmm!”

Kami kembali latihan. Melanjutkan rangkaian koreo beberapa hari yang lalu. Kali ini lebih sulit, karena sudah mulai masuk ke pertengahan lagu. Sedangkan Siti? Jangan tanya. Dia lebih cepat belajar dibanding aku.

“Susah ya, Mas? Nggak papa, namanya juga latihan. Nanti juga bisa, kok.” Untungnya Mba Ranti nggak seperti Bu Yuli yang sukanya sekali diajarin inginnya harus langsung bisa. Mba Ranti masih memaklumiku.

AKU DAN DIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang