05

3.3K 282 103
                                    

MAVIN SANJAYA

Well, being busy people emang nggak selamanya enak. Ada aja asem-asemnya. Like today misalnya. Harusnya aku ngaso, nyante di kelas karena jam kosong, atau ke kantin makan bakso pake sambel, atau nongkrong di aula sekolah buat Wifi-an. But it doesn’t happen. Seperti biasa, panggilan tugas mengintrupsi hidupku. Rio memanggilku ke kelas, memberi tahu bahwasannya hari ini kami diwajibkan kumpul di Ruang OSIS. Dan ternyata kami disuruh mengumpulkan dana bela sungkawa atas kepergian ayahanda dari salah satu siswa, kelas XII.

“Kelas sepuluhnya cuma segini yang kumpul?” tanya Mas Yuba. Hanya ada lima belas anak.

“Lainnya ulangan, Mas.” Rio angkat tangan, memberikan informasi.

“Yaudah, langsung aja. Seperti biasa, kalian keliling ya. Nama almarhum Sujatmoko ayahanda dari Ferdiansyah XII IPA 4. Kalo udah nanti kumpul di sini.” Setelah itu kami berpencar. Secara sepihak, aku dan Riani memilih kloter XI IPA. Of course! Well, nggak perlu sebuah alasan. Kalian sudah tahu jelas arahku ke mana.

For a reason, aku kangen berat sama salah satu orang di jurusan itu. Beberapa hari ini aku nggak melihat batang hidungnya. Of course itu menganggu pikiranku! Karena kejadian terakhir bener-bener bikin aku kecanduan berat! Like… gimana sih rasanya kamu ketemu tambatan hati? Nagih kan pasti?

Riani bertugas membacakan doa bela sungkawa, sedangkan aku berkeliling menerima infak mereka sembari membawa kotak amal. Itu pun aku yang memilih. Sedangkan Riani oke-oke aja dengan keputusanku dalam berbagi tugas.

Setelah beberapa lama, momen yang ditunggu pun tiba. Aku tiba di kelas XI IPA 3.

Di ambang pintu, aku menarik napas dalam. Hatiku mendadak bertabuh layaknya genderang perang! Not being lebay, but, it’s truly happens! Dan setelah Riani mengetuk, aku mencoba bersikap sebiasa mungkin.

“Permisi, Bu. Kami minta izin menarik uang bela sungkawa.” Kata Riani.

“Oh, silahkan-silahkan!”

Dan Riani memulai dengan pidato singkatnya. Disitu manikku mulai mengedar, dan… yah, there he is. Di barisan ke dua dari pintu, dua meja dari belakang.

Kak Tampan, duduk diam termangu.

Hatiku mendadak membuncah. Sosoknya langsung menarik hatiku untuk merasakan sensasi ngilu ketika terlalu senang. Sumpah ya, aku nggak bisa berhenti mengagumi sosoknya. Entah dilihat seperti apapun, dia tetap bisa menarik hatiku. Sorotan cahaya pagi dari jendela samping kelas tepat mengenai sebagian wajahnya, malah, pemandangan itu terlihat semakin dramatis. Seolah cahaya itu memang diciptakan untuk membuat wajahnya makin bersinar. Well, mungkin kamu harus melihatnya sendiri. Ucapanku mungkin sulit untuk membuatmu percaya—

“Mavin!”

Menghambur, aku mendapati Riani menatapku tajam. Aku langsung melaksanakan tugasku, dimulai dari barisan paling mepet pintu. Urut ke kebelakang. Dan nggak lama kemudian… meja yang paling aku tunggu-tunggu.

“Waduh, Kak, belum ada kembalian.” Jelas, dia memberiku seratus ribu! Sedangkan uang yang terkumpul kebanyakan receh dan belum genap terkumpul sejumlah itu.

“Yang ada aja, berapa?” well, aku keburu menghitung. Untungnya aku nggak bego-bego amat soal duit. Baru terkumpul enam puluh dua ribu lima ratus. Padahal kami udah narik dua kelas yang notabene siswanya tiga puluhan. Guest what? Yawlaaaa, shaaay, rata-rata pada ngasihnya gope, yang dua ratus perak juga banyak, meskipun yang seribu/dua ribu nggak kalah banyaknya sih. Well, aku nggak berhak mengkritisi, sih. But masa anak SMA ngasihnya gope? As you know dana bela sungkawa ini kan untuk teman mereka juga? Minimal seribu, kek? Where is the respect?

AKU DAN DIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang