| s i x

1.1K 170 13
                                    

Langkah kaki seorang lelaki semakin cepat. Dia tidak peduli lagi dengan orang-orang yang menatapnya bingung.

Bandara Gimhae semakin ramai, orang-orang akan berangkat untuk menikmati liburan musim panasnya. Sementara Jimin, disinilah dia sekarang. Memegang handphonenya, mencari taksi didepan pintu masuk bandara.

Baju didalam kopernya bahkan dia masukan dengan asal. Rasa paniknya saat ini lebih besar. Kepalan tangan pada kopernya saat ini pun semakin kencang, celingak-celinguk mencari keberadaan taksi.

"Eomma, aku sudah sampai dibandara." Ucap Jimin pada eommanya yang berada disebrang telfon.

"C-cepatlah kemari, rumah sakitnya tidak jauh dari bandara."

Suara eomma Jimin yang sedikit bergetar karena menangis membuat Jimin mengerutkan keningnya.

"Eomma, waeyo? Eomma menangis?"

"Jimin-ah, kumohon jangan menangis seperti eomma ketika mendengar ini."

Jimin tahu, jika eommanya sudah berkata seperti ini, artinya berita ini akan sangat menyedihkan baginya. Dia berusaha menyiapkan hatinya yang berdegup dengan kencang.

"M-mina, d-dia masih hidup."

Deg! Waktu seakan seperti berhenti bagi Jimin.

"Kaki dan tangannya patah. T-tulang rusuk retak dan tengkoraknya pun patah."

Air mata Jimin jatuh tanpa seizinnya, turun membasahi pipinya. Tangan yang memegang handphonenya pun bergetar dengan hebat. Dia bukannya takut, tapi dia benar-benar terkejut, sangat amat terkejut.

"D-dia dirawat di ICU saat ini. Setengah jam lagi, operasi untuk tulang tengkoraknya akan dilaksanakan."

Tangis eommanya semakin kencang. Jimin yang mendengarnya hanya bisa terdiam membeku.

"M-mina, dia benar-benar tidak berubah. Wajah yang kau rindukan benar-benar ada disini. Jadi eomma mohon cepatlah kemari."

Bibir Jimin kaku, entah sulit untuk mengucapkan sepatah kata. "A-aku akan segera kesana."

ʕ •ᴥ•ʔ

Air matanya semakin mengalir dengan deras, menatap seseorang yang sangat spesial baginya dengan lekat. Berharap mata cantik itu dapat terbuka, berharap bibir itu menampakkan senyumnya kembali. Berbagai selang terpasang pada dirinya, mesin-mesin yang membantunya tetap dalam kondisi stabil pun ikut menemaninya.


Dokter dengan beberapa perawat mulai menjalankan operasi. Ingin sekali rasanya memeluk gadisnya itu, tapi dirinya hanya bisa mengintip dari kaca pintu.

Dirinya terlambat, terlambat untuk melihat wajah Mina dari dekat. Terlambat untuk memeluk gadisnya itu dengan erat. Kini, dia hanya bisa menunggu lampu didepan ruangan itu berubah menjadi berwarna hijau.

"Jimin-ah, jangan seperti ini."

Tepukkan tangan appa Jimin pada pundaknya malah membuat dirinya semakin menangis. Dirinya beralih pada appanya yang berada didepannya saat ini. Menangis sederas-derasnya, mengeluarkan semua unek-unek didalam hatinya.

"Suster memberikan appa ini tadi."

Jimin melepas pelukannya, menatap suatu benda kecil yang kini berada ditangan appanya.

Cincin. Cincin yang dia berikan untuk Mina.

"Dia temukan masih terpasang dijari manis Mina."

"Aku tahu ini berat untukmu, tenanglah, Mina tidak akan pergi kemana-mana lagi." Lanjut appa Jimin, lalu memberikan cincin itu pada Jimin.

SEA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang