0.2

3.4K 337 48
                                    

Romeo menatap cemas sekaligus iba kepada sosok yang terbaring di ranjang persakitan. Nasal Canulla terpatri di hidung mancung bak perosotan milik Gavi. Wajahnya pucat pasi, rona bibir plumnya tidaklah merekah berseri seperti biasanya, kelopak matanya bahkan senantiasa tertutup sejak tadi. Romeo menggenggam jemari dingin Gavi yang tercucuk jarum infus, mencoba menyalurkan kekuatan.

Walaupun hanya kecelakaan ringan, Romeo tetaplah sangat khawatir. Ia tentu langsung bergegas kemari, bahkan ia belum sama sekali beranjak mengabari Abi dan Erick.

Ia khawatir, sangat. Terlebih saat Gavi harus menggunakan Nasal Canulla. Dokter berkata lelapnya Gavi tak sepenuhnya tenang, napasnya sempat tidak beraturan lantaran sesak yang membelenggu. Sungguh ironis, bahkan dalam keadaan tak sadar diri pun, sahabatnya itu menderita.

Romeo merasa ingin menangis detik ini juga. Dia memang cengeng jika menyangkut Gavi, demi apapun ia sangat takut kehilangan bocah satu ini. Ia rela melakukan apapun untuk Gavi. Ia bersedia direpotkan dengan keinginan ajaib bocah satu ini, dibuat kesal setiap harinya, dijadikan samsak jika bocah itu kesal sekalipun, atau bahkan jika bisa ia sangat ingin menukar rasa sakit Gavi dengannya.

Kotak memori Romeo berhambur menunjukkan kilas balik saat Gavi seringkali merintih kesakitan sembari meremat erat dadanya kemudiannya merengek karena harus sering menjalani check-up rutin. Mengingat itu membuat Romeo ikut merasa sesak dan sedih bersamaan.

Gavi punya lemah jantung. Dia rapuh. Sejak ia ditemukan kala bayi, penyakit itu memang sudah bersarang di tubuhnya. Semua orang mati-matian mempertahankannya. Panti asuhan yang merawatnya bahkan mengupayakan segala cara agar Gavi dapat tumbuh baik, pun sahabat-sahabat nya yang rutin memantau keadaan cowok tengil itu. Tak peduli biaya yang terkuras, tenaga yang akan keluar. Itu semua tak penting, Gavi adalah poros hidup mereka, Gavi lebih penting dari semua yang mereka miliki. Rasa-rasanya jika tak ingat mereka sepantaran, ingin sekali mengklaim bocah tengil itu sebagai adik mereka. Sayang sekali bocah itu tak akan sudi dan menatap geli sambil mencak-mencak.

"Apa?! Lo pada mau gue panggil Abang? Iyuwh jangan harap ya. Gue kuat ni kalo kalian ngajak berantem!"

"MEOO, ES KRIM GUE ITU!!"

"Ihh gue ngidam, pengen berenang bareng ikan lele tapi gue harus pake kostum pesut mahakam."

"Pengen bola rambutan krispy dari mie gelas!"

"Viey maunya yang itu Meo, bukan yang ini..."

Romeo terkekeh mengingat celetukan tak masuk akal yang kerap dikeluarkan Gavi. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca.

"Viey, bangun..." lirih Romeo. "Gak lucu sumpah, kata dokter lo cuma kebentur biasa sama lecet, tapi kok tidurnya lama? " tanya Romeo. Padahal ia baru menunggu Gavi selama sejam saja! Dan juga perawat mengatakan Gavi mungkin masih dalam pengaruh obat bius agar tetap lelap dan beristirahat.

"Ini sakit ya?" tanya Romeo mengelusi kening Gavi yang dibalut perban. "Anjirlah lo kayak pemeran sinetron Indosiar." ujar Romeo berusaha menghibur dirinya sendiri. Dia terkekeh sendiri kemudian wajahnya berubah murung lagi.

"Viey, kalo nyokap bokap gue tau. Gue jamin lo dikurung di mansion gue. Lo pilih bangun atau gue kasih tau? Mau disuntik sama mereka ha? Lo kan benci jarum suntik? Atau mau ha dirantai di mansion Abi? Atau mau Erick musnahin semua motor di dunia ini ha? Sanggup dia mah."

Nikhil. Gavi tak menjawab.

"Gue belum ngabarin Abi sama Erick. Bisa marah mereka." gumam Romeo pelan. Ia meraba sakunya dan mendesah kesal lantaran ternyata ia tak membawa ponsel sebab terlalu tergesa.

"Tamatlah anjing. Pasti Abi ngelacak posisi lo karena sejam lebih gaada kabar. Ssh mampus gue." desis Romeo sedikit meringis.

Tatapannya berubah sendu lagi karena sedaritadi Gavi tak kunjung menanggapi obrolannya.

Luminous YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang