0.8

2.1K 199 24
                                    

Malam itu saat bulan sedang tinggi-tingginya membentang di langit, Gavi terbangun dari tidurnya dengan keringat bercucuran. Peluh sebesar biji jagung membasahi baju tidur bergambar Spongebob yang ia kenakan. Gavi meremat erat dadanya saat ia merasakan sesak mendalam dan nyeri bertubi-tubi pada dadanya.

"Sa--kit..." gumamnya merintih. Matanya terpejam erat meresapi rasa sakit yang menghantamnya. Organ sekepal itu pasti membuat ulah lagi dan membuatnya kewalahan.

Sakit banget Tuhan...

Gavi memukul-mukul dadanya dengan gerakan kasar, berharap pasokan udara bisa terhirup nyaman olehnya. Tak ada siapapun di kamar ini, entahlah kemana Gio yang berjanji akan menemaninya tidur dan tadi tertidur di sebelahnya. Mungkin ada urusan? Entahlah...

Gavi hanya peduli pada rasa sakit yang menyerangnya tanpa ampun sekarang. Ia mencengkram erat dadanya yang terasa sesak, buku jarinya bahkan memutih menandakan kuatnya cengkraman yang ia lakukan. Gavi pun tak sadar jika kukunya bahkan menggores dadanya karena baju tidur yang ia keaneka tergolong tipis. Menimbulkan jejak luka cakaran dengan sedikit cairan pekat di sana.

Tak tahan lagi, Gavi berjalan tertatih-tatih ke arah kamar mandi. Beberapa kali ia sempat jatuh karena kesulitan menopang tubuhnya sendiri. Sampai akhirnya ia sampai di dekat wastafel dan berpegangan di sana. Merintih dan meraung sejadi-jadinya. Ini menyesakkan...

Rasanya sesak...

"Gu--e ma--sih m--au hi--dup! Gu--e ma--sih ma--u hi--dup!" gumam Gavi dengan napas yang tersenggal-senggal.

Setetes air mata mengalir dari ujung pelupuk mata sebelah kirinya. Disusul dengan kristal bening lainnya yang menyusul dengan deras.

"Se--sak..."

"Ra--sa--nya, gu--e gak ku--at..."

Tapi bagaimana jika ia pergi? Bagaimana dengan para sahabatnya dan orang terdekatnya yang selama ini mengupayakan keberadaannya tetap ada. Bukankah itu artinya perjuangan semua orang akan sia-sia?

Gavi kembali memukul dadanya sambil terisak-isak. Ia menatap tube berisikan obat yang sempat ia ambil di nakas tadi. Perlahan dengan tubuh gemetar tapi pasti, ia menuangkan semua pil yang ada di dalam sana dan menatapnya dengan tatapan sendu. Tangisnya semakin terdengar pilu dan menyayat hati, ia sesenggukan hebat.

Apa sebenarnya ia tidak pantas mendapatkan kebahagiaan? Kenapa dia hanya menjadi benalu bagi orang-orang yang bahkan tidak ada hubungan darah dengannya? Ah ini terlalu dramatis.

Dalam sekali gerakan, Gavi melempar seluruh pil yang tadi ia genggam. Menjadikannya berserakan di lantai kamar mandi dan menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Gavi menutup telinganya, napasnya semakin memberat. Ia membenamkan kedua wajahnya pada tekukan lututnya.

Demi apapun Gavi sudah terlampaui sering merasakan rasa sakit ini.

Penyakitan! Mungkin aja keluarga gue buang gue karena gue penyakitan dan bisanya ngerepotin!

Suara pintu yang dibuka kasar menyadarkan Gavi dari segala pikirannya. Gavi mendongak menatap siapa yang datang.

Abi berdiri mematung di sana, menatap balik ke arah Gavi yang menatapnya sendu penuh keputusasaan. Gavi yang seluruh tubuhnya bergetar hebat, Gavi dengan air mata tak berhenti mengalir, Gavi dengan isakan kencang yang sedang meringkuk sendirian.

Abi merasakan hatinya begitu ngilu.

Tes...

Air mata Abi menetes. Ia bergerak cepat mendekati Gavi, membawa anak yang tengah pilu itu ke dalam rengkuhannya. Kali ini dia tidak lagi melarang Gavi menangis atau memaksanya memakai nasal canulla dan sebagainya, Abi hanya membiarkan Gavi menumpahkan Isak tangisnya. Gavi meremat punggung Abi dengan erat menyalurkan rasa sakit yang ia rasa. Abi menepuk-nepuk tubuh Gavi yang masih bergetar hebat.

Luminous YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang