1.1

1.7K 182 106
                                    

Romeo bersenandung kecil sembari membawa segelas susu hangat rasa vanilla untuk diberikan kepada Gavi. Ia tak mengetuk pintu kamar melainkan langsung masuk begitu saja setelah tangannya berhasil memutar knop pintu yang tidak terkunci. Romeo tersenyum geli menatap tonjolan di balik selimut.

Tumben anak itu belum bangun dan tidak berteriak heboh pagi-pagi minta susu. Pikir Romeo.

"Viey..." panggil Romeo dengan lembut. Romeo mendudukkan diri di satu sisi ranjang Gavi dan mulai mengeluarkan celotehannya.

"Bangun Viey, Abi katanya pulang pagi ini. Kangen gak lo?" tanya Romeo. Ucapannya hingga saat ini tak kunjung mendapat sahutan. Kening Romeo sedikit berkerut tatkala keheranannya bertambah. Gavi itu walaupun anaknya pelor tapi dia mudah dibangunkan dan tidak biasanya pula anak itu tak menyadari pergerakan Romeo yang menduduki ranjangnya.

"Viey?" panggil Romeo sekali lagi.

"Viey?"

Khawatir, tangan Romeo langsung bergerak menyingkap selimut di hadapannya.

Alangkah terkejutnya Romeo saat tidak mendapati keberadaan Gavi di sana melainkan hanya guling dan sosok boneka bernama Chico. Mata Romeo membulat sempurna dan meliar ke penjuru kamar. Ia bergerak cepat memeriksa kamar mandi.

Namun nihil, tak ada tanda keberadaan Gavi sama sekali di sana. Romeo memeriksa pintu balkon yang nampak sedikit terbuka. Benar saja, ada seutas tali tergantung di penghujung pagar balkon tersebut. Bahu Romeo merosot begitu saja, wajahnya pias seketika.

Kemana anak itu pergi? Ini negeri orang, tidak mungkin Gavi tau seluk-beluknya.

•••

"Darimana lo dapat luka-luka ini?" tanya Erick nampak khawatir dengan kondisi Abi yang jauh dari kata baik. Datang-datang dengan kondisi yang tidak bisa dibilang baik setelah menghilang kurang lebih dua hari, siapa yang tidak merasa khawatir dan janggal coba?

Abi terlihat kacau. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh luka lebam dan sayatan, sudut bibirnya sobek, bahkan kantung matanya nampak menghitam selaras dengan pandangannya yang kelihatan gelap sekelam malam.

Keheningan melanda kedua insan tersebut, tidak ada sepatah katapun yang Abi berikan sebagai jawaban. Sebaliknya, cowok tersebut hanya diam dengan tangan mengepal. Urat-urat di lehernya pun nampak menonjol, Erick bisa menyimpulkan satu hal atas keadaan Abi.

"Lo marah?" tanya Erick menyadari gerak-gerik Abi yang tak biasa. "Kontrol diri lo sebelum Bian keluar." sambung Erick. Hanya mengantisipasi kemunculan Bian yang tentunya akan membuat keributan dan menciptakan rasa tak nyaman bagi Gavi.

"Dia sudah keluar dan ini dari Bian..." lirih Abi sembari menunjuk wajahnya yang berantakan. "Kita gagal, kita gagal untuk ketiga kalinya." sambung Abi dengan nada getir.

Erick tentu tidak mengerti dengan baik apa yang diucapkan anak itu. Erick berusaha menyelami tatapan mata sekelam malam milik Abi, ia tak mahir membacanya sangking gelapnya tatapan tersebut. Tapi Erick dapat memaknai beberapa hal dari gerak-gerik Abi. Cowok itu terlihat marah dan berantakan. Tapi apa yang bisa membuat Abi kehilangan kendali selain--tunggu. Gavi?

"Aku sangat marah." ujar Abi. "Tapi dibanding itu aku lebih merasa sedih, Viey dia mengalami banyak hal sulit--"

"Viey kenapa?" sela Erick. "Dia baik-baik aja, sekarang lagi tidur di kamarnya."

Luminous YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang