0.3

2.7K 274 33
                                    

"Udah njir, si bayi ngambek." ucap Romeo sempat melirik sekilas ke Arah Gavi, namun tak urung ia tetap meneruskan kegiatan jemarinya pada layar HP nya.

Erick nampak fokus, enggan menoleh ke arah Gavi yang sudah mencebikkan bibirnya kesal karena ditinggal main game.

"Sebentar lagi." gumam Erick. Masalahnya itu bukan kata sebentar yang pertama, ini sudah kali kelima Erick mengatakan hal tersebut sampai Gavi jengah dan bosan. Sudah hari ketiga dia berada di ruang rawat inap ini, sangat membosankan. Ia ingin, pulang, perbannya bahkan sudah dilepas, bukankah harusnya ia boleh pulang?

Gavi meremat kaleng susu yang ia pegang saat mendengar perkataan Erick. Kemudian dalam satu gerakan ia langsung melempar kaleng yang telah tandas itu ke arah Erick dan Erick tentu dengan cepat menghindarinya seraya tersenyum pongah.

"Apasih bayi, gak kena nih cupu!"

"Erick!" pekik Gavi kesal. Merengut tidak suka atas panggilan yang tertuju kepadanya. Ingatkan Erick bahwa dia bukanlah bayi.

"Lucu banget sih Viey kalo marah-marah." balas Romeo tersenyum semringah. Matanya menatap gemas ke arah Gavi yang mendelik tajam. Romeo menyerah, ia melempar asal hpnya, membiarkan dirinya afk, dan beralih mendekati Gavi yang sudah bersidekap dada kesal.

Abi yang sedari tadi sibuk mengerjakan makalah di laptopnya menghentikan pergerakan dan meluncurkan atensi penuh ke pada Gavi yang tampak kesal. Terbukti dari pipi chubby cowok itu yang menggembung lucu, bibirnya melengkung ke bawah, dan tatapan matanya memandang penuh permusuhan. Namun di mata mereka semua, tatapan teduh itu tak seram sama sekali melainkan tampak menggemaskan.

"Gak usah dekat-dekat, kita kemusuhan!" pekik Gavi. Tangannya mendorong Romeo yang berusaha mendekatinya. "Sana bego jauh-jauh dari gue!" teriak Gavi memberontak saat Romeo akan memeluknya.

Romeo yang kesal lantaran kata kasar yang dikeluarkan Gavi pun segera bergerak mengucir bibir cowok itu dengan gemas. "Mulut noh mulut, kasar banget."

"LEPASSS IH SAKIT!" teriak Gavi setelah menjauhkan tangan Romeo dari bibirnya. "Bibir seksi gue." ujarnya mempoutkan bibir kesal.

Erick pun sudah lepas dari pengaruh game sialan itu. Kini cowok itu memandang Gavi yang tengah merajuk dengan tatapan penuh kegemasan. "Udah selesai nih main gamenya." ujarnya menantikan reaksi Gavi.

Nikhil, cowok itu tetap marah sekaligus kesal karena terlalu lama diabaikan. Gavi memberikan Erick tatapan tajam yang dibuat sinis.

"Kenapa hm? Mau dipangku aja?" tanya Erick yang jelas diabaikan.

Gavi memilih bangkit dan mendekati Abi yang kini sudah melanjutkan kegiatannya mengerjakan makalah. Ia mendudukkan diri di sofa yang sama dengan Abi.

"Abii..." panggil Gavi.

"Abi..." panggilnya untuk kedua kali.

Abi tetap memfokuskan pandangannya, menggoda kesabaran cowok itu akan sampai di tahap mana. Terbukti, Gavi mulai menggerutu kesal lantaran kehadirannya diabaikan total oleh Abi.

"Abi, ih!"

Gavi melancarkan jurus andalannya. Ia mendusalkan kepalanya dengan brutal di leher Abi, seperti seorang kucing manja yang mencari perhatian. Beberapa kali Gavi dengan sengaja menghembuskan napas hangat, menggoda leher terbuka sahabatnya itu agar meresponnya.

Abi berusaha fokus pada laptopnya walaupun lehernya sudah terasa geli sejak Gavi mulai mengganggunya.

"Abi..." rengekan Gavi mulai terdengar. Tak tahan diabaikan, Gavi mulai mengalungkan tangannya di leher Abi, memeluknya erat.

Abi menghela napas pelan, ja meletakkan laptopnya di nakas. Gavi dan tingkah ajaibnya akan lebih manja ketika sakit atau sedang menginginkan sesuatu.

"Jangan banyak tingkah, belum sembuh." titahnya. Abi mengusap telinganya yang terasa geli lantaran Gavi berbisik tidak jelas di sana, seperti bisikan setan.

Luminous YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang