***
Sayla dilema. Keputusan berpisah dari Prima sudah bulat, tapi orang-orang tersayang malah mendukung sampai memelas padanya untuk jangan berpisah dari penghianat berwajah malaikat itu.
Sayla menghela napasnya. Persiapan yang sudah dia buat gagal total. Rencananya dia akan menyewa kos dengan uang penjualan kalung yang dibelikan tantenya, kerja sampingan di cafe dengan tetap melanjutkan kuliahnya dan sebulan kemudian, dia baru akan muncul dihadapan mertua dan tantenya untuk klarifikasi, nyatanya baru beberapa jam keluar dari rumah, harus kembali lagi ke rumah. Memalukan.
Sayla memutuskan keluar kamar. Makin kacau perasaannya mendengar dua mertuanya dan adik iparnya mendesak dengan kalimat rada pemaksaan, layaknya balita yang meminta mainan pada ibunya yang tidak ber-uang. Memusingkan.
"Sayla, kembali pada Prima, ya! Nanti Mama tidak bisa rasain lagi makanan dan kue enak buatanmu." Larah mengenggam tangan Sayla.
"Kak Sayla, ayolah! Della tidak mau kalah saing. Kakak sudah dikenal semua teman Della sebagai kakak ipar. Kalau mereka tau kakak janda ... oh! Nasip Della gimana, Kak. Pokoknya jadi kakak ipar Della lagi. Titik." Della mengacak rambutnya, frustasi sambil duduk bersila di lantai.
"Kalau bukan kamu yang jadi pendamping anak kurang ajar itu, Papa bakalan suruh dia kembali dalam perut Mama!" Pras berdiri di depan jendela, menatap keluar. Terlihat nampak sangat kesal.
Klik
Sayla menutup pintu. Lagi-lagi menghela napas. Dia melangkah menuju arah kanan, tetapi langkahnya berhenti setelah panggilan sayang yang sebulan lalu sangat dia sukai terdengar.
"Sayang," langkah wanita muda dan cantik itu terhenti. Dia tahu, itu Prima. Sayla memutarkan bola matanya dan kembali melangkah. Panggilan itu kini memualkan.
"Sayang," Prima mencekal tangan istrinya.
"Apa?" Sayla menghempas tangan Prima dan berbalik untuk adu tatap. Hati Sayla terenyuk. Pria yang selalu tampan di matanya kini benar-benar kacau dengan mata merah yang sedikit bengkak. "Tetap pada pendirianmu, Sayla!" Ucapan itu lirih. Menguatkan dirinya dan memberi kode keras pada hatinya.
"Kita harus bicara."
"Tentang perceraian?" Sayla melipat tangan di dada dengan mata yang bergerak gelisah. Takut jika sorot mata elang yang terlihat lelah itu akan melunturkan pendiriannya.
Prima mengeleng. "Mas tidak mau pisah sama kamu."
Pria itu mengulurkan tangannya ingin memeluk Sayla, tetapi wanita itu mundur selangkah."Jangan sentuh aku!" Tiga kata itu mampu mengalirkan air mata Prima dengan sangat lancar. Hatinya yang hancur semakin hancur. Abaikan jika Sayla atau yang lainnya menganggapnya pria cengeng. Berpisah dengan wanita baik seperti Sayla sama saja bunuh diri pelan-pelan. "Aku mau kita cerai secepatnya. Urusannya aku serahkan padamu. Masalahnya aku tidak punya uang. Bisakan kalau aku tahu beresnya?"
Bahkan panggilan mesra 'Mas' pun sudah tidak disebutkan Sayla. Prima memejamkan matanya dan kemudian membukanya lagi.
"Bisakah kita bicarakan?"
"Tidak ada yang perlu dibahas. Semua sudah jelas." Sayla berbalik. Tangannya meremas baju di area dada. Rasanya hatinya nyeri, tetapi dia tidak mau lemah. Dulu dia berjuang untuk keharmonisan keluarga kecilnya dan sekarang berjuangan demi perpecahan keluarganya. Air matanya menetes. Dengan pelan dia melangkah.
"Apa kamu sudah tidak mencintai Mas?" Langkahnya kembali terhenti. Pertanyaan itu begitu menyakitkan. Cinta? Sayla masih amat sangat mencintainya, tetapi penghianatan suaminya sangat menyakitkan.
"Mas sangat mencintaimu, Sayang."
Air mata Sayla semakin deras. Apalagi penuturan Suaminya dengan suara lirih. Benar-benar membuatnya iba.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI PENGGANTI (Tamat)
RomanceCerita percintaan antara Sayla, Prima dan Bella. Hiks, segitu aja ya😄