02 | Mendung

51 19 0
                                    

"Tuhan, apa yang harus aku lakukan agar aku bisa bahagia? Aku ingin bahagia walau hanya satu detik saja."

─Stevano Adrian R─

***

CITTT...

Bunyi ban sepeda yang nyaring karena direm oleh pengayuhnya menimbulkan suara berdecit yang khas. Stev melepaskan jaket yang ia kenakan kemudian menjemurnya di jemuran halaman belakang kost-kostannya yang baru saja ia tempati minggu lalu.

Stev tinggal di sebuah kos-kosan kecil, sempit dan sederhana dengan harga yang murah serta dapat dihuni empat orang saja─termasuk Stev. Stev tinggal dan hidup mandiri di pusat kota itu. Ia juga bekerja serabutan untuk kebutuhan sehari-hari juga biaya hidupnya.

Bekerja menjadi loper koran di akhir pekan, menjadi kurir di hari Senin dan Selasa, menjadi penjual bunga setiap pulang sekolah, dan menjadi seorang pelayan di sebuah kedai mie ternama di kota setiap sore.

"Hei, bro! Gue kok nggak liat lo kerja jadi loper koran? Kenapa?" Tanya Bayu─teman satu kostnya kala Stev sudah menginjakkan kakinya masuk kedalam kost-kostannya.

Stev menghela napas lemah. Ia ingin menjawab, tetapi buru-buru disela yang lain.

"Santuy, cuy! Stev baru nyampe, main tanya langsung aja," Adam─teman sekostnya pula─menyikut Bayu seraya menggeleng-geleng pelan. Sementara Bayu menyengir.

"Stev, semalem lo nggak makan, 'kan? Tuh, Adam lagi baek, dia lagi kaya, maklum awal bulan, nyokapnya baru aja ngirimin dia duit. Dia beliin kita nasi Padang! Wiih, mantep kan? Jelas dong, kenyang nih gue," cerocos Rei─teman sekostnya pula.

Sementara Stev, dalam hati ia terharu akan kebaikan hati teman-teman kostnya yang selalu peduli padanya. Stev tidak punya lagi teman semenjak kehadiran 'trio somplak' di hidupnya. Bukan karena kehadiran mereka juga. Hal itu juga keinginan Stev yang tidak ingin mempunyai teman yang banyak, tetapi mengkhianatinya dikemudian hari. Cukup tiga saja, yang penting tidak bermuka dua.

Ah, tanpa sadar, jantung Stev berdenyut nyeri, mendengar bahwa Ibu Adam masih peduli pada Adam. Selalu mentransfer uang bulanan untuk anaknya. Sementara dirinya? Boro-boro diberi uang bulanan, ditanyakan kabarnya pun tidak.

Ayah Stev bercerai dengan Ibunya kala ia baru saja menginjak bangku SMP membuat keluarganya hancur. Ayahnya 'membuang' dirinya ke Singapura dan dirawat oleh Bibinya disana. Entahlah, mengapa sang Ayah begitu tega membuangnya. Mungkin karena dia dianggap anak pembawa sial?

Sementara Ibunya yang depresi karena diceraikan suami dan kepergok selingkuh, akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya di depan mata kepalanya sendiri membuat Stev sedih.

Ketika ia menginjak bangku SMA kelas 11, Stev memutuskan untuk hidup mandiri dan kembali ke Indonesia meski ia harus mati-matian tidak mengenang kisah pilunya di 'Negeri Seribu Pulau' itu. Ia tidak ingin menyusahkan Bibi dan Pamannya terus-menerus dengan membiayai kehidupannya. Lagipula, ia sudah cukup dewasa untuk hidup sendiri.

Masa lalu yang kelam. Kehidupan yang tidak sempurna. Stev berpikir, Tuhan tidak membiarkan dirinya untuk bahagia walau hanya sesaat.

"Stev? Lo ngelamun jorok yee? Diem-diem bae, kesambet?" Celetuk Bayu memecah lamunan Stev ke masa lalu. Stev mengerjapkan mata dan menggeleng pelan.

I, You & RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang