3. Maya, Gadis, dan Gerimis

11 1 0
                                    

Sore ini adalah kebersamaan kami yang ke sekian kali. Aku dan kekasihku melewatkan senja di kedai kopi. Menikmati secangkir cappocino dan sepiring brownies dalam pendar cahaya sore yang tertutup awan kelabu. Hubungan kami baru satu minggu. Kami duduk berhadapan. Membincangkan tentang apa saja. Tentang senja, jingga, kopi, hingga gerimis yang mulai tampak dari jendela kaca.

“Gerimis?” Maya menyunggingkan senyum. Binar mata itu menampakkan bunga-bunga surga. Lekukan di kedua pipinya terlihat menggemaskan.

“Ayo main gerimis,” Maya menarik tanganku. Langkahku kepayahan mengikutinya.

Di pelataran kafe yang tak terlalu luas, Maya membentangkan kedua tangan. Wajahnya menengadah. Gerimis telah menjamahi seluruh tubuhnya. Ia berputar perlahan. Membiarkan butiran gerimis merembas ke bajunya.

Maya, kekasih yang sangat kusayangi itu seketika kupeluk erat-erat. Ia terkejut. Aktivitasnya berputar di bawah gerimis terhenti. Degup jantungnya sampai ke dadaku.

“Katakan, Ka.” Maya berbisik halus di telingaku. Ia menepuk-nepuk punggungku.

Pita suaraku terasa berat. Kulepaskan dia dari jeratanku. Maya mengusap pelipisku. Dia menggenggam tanganku di tengah hiruk pikuk orang yang mencari tempat berteduh.

“Maafkan aku,” suara beratku lebih mirip bergumam. Maya terlihat kebingungan. Wajahnya sedikit tertekuk. “Aku akan dipenjara, Sayang. Bisnisku gagal. Uang investor telah raib.”

Maya terhenyak. Dia memandangku tanpa berkedip. “Aku juga ingin jujur padamu, May.” Matanya semakin jalang. Seakan menyudutkanku untuk segera melanjutkan perkataanku

“Aku sudah beristri tiga bulan lalu. Dia tengah hamil. Tapi…” Maya melangkah mundur. Matanya berkaca-kaca. Air matanya perlahan mengalir, menyatu dengan air gerimis yang membasahi paras ayunya.

Maya berlari. Ia meninggalkanku mematung didera asa. Tak lama, suara jeritan Maya membahana merambati gelombang udara.

Perpisahanku dengan Maya saat ini sama seperti perpisahanku dengan istri tercinta. Kejadian dua minggu lalu itu terulang lagi. Mereka hilang di tengah gerimis.

Aku berjalan gontai mendekati Maya. Gerimis menjelang petang ini semakin menderas. Sama derasnya dengan gerimis yang jatuh dari sudut-sudut mataku. Hatiku pun gerimis kala melihat Maya terkapar. Ia telah berada dalam pangkuanku. Darah yang keluar dari mulut, hidung, dan telinganya telah bercampur dengan air. Seseorang telah membenturkan mobilnya.

Gerimis masih tetap gerimis. Mendung akan terus bergelayut sampai tiba saatnya menjadi hujan.

Dua perempuan yang kucintai telah memilih gerimis sebagai salam perpisahan denganku. Aku jadi teringat Gadis, istriku yang meninggal sewaktu hamil dulu. Dia tiba-tiba menghilang saat mencoba berhambur ke pelukanku di bawah tirai gerimis dari perseberangan jalan. Seseorang telah mendorongnya hingga jatuh terserempet motor dan mengalami pendarahan.  Mungkin benar perkataan seorang teman, “Gerimis adalah air mata bidadari surga.”

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang