[14] : Bertemu kembali

5 0 0
                                    

Rino cengar-cengir menghampiri Pram yang sudah menunggunya di caferin, tempat biasa mereka mengobrol.

Tadi, Pram sempat meminta Rino untuk datang menemaninya dengan alasan suntuk berada dirumah. Rino kembali mengingat aksinya beberapa waktu lalu. Ia terkikik geli.

"Cengar-cengir kaya monyet lo."

"Belum pernah lihat monyet nyengir tuh gue." Rino mencibir.

"Gue juga baru lihat kali ini. Lo kalo mau lihat ngaca aja."

"Kurang aj-- anjir ada doi." Rino refleks menutup mulut dengan telapak tangannya.

Pram langsung mengikuti arah pandang Rino. "Doi?" Pram bertanya namun kata-katanya bukan seperti sebuah pertanyaan. "Maksud lo si Jihan?" Pram menaikkan sebelah alisnya.

"B-bukan lah, enak aja lo. Maksud gue, pasti sebentar lagi doi lo dateng. Nah iya." Rino gelagapan.

"Gue pikir lo naksir sama Jihan."

"Ngaco lo." Rino melirik Jihan yang sedang bermain ponsel. Mungkin ia sedang mengabari seseorang.

"No, cepet tukeran posisi sama gue, gue mau lihat doi gue pasti bentar lagi dateng." Pram berdiri dan memaksa Rino untuk tukar tempat duduk agar ia bisa lebih leluasa mengamati Elok nantinya.

Rino melirik Jihan yang masih berkutat dengan ponsel ditangannya sebelum terpaksa berdiri dan mengiyakan keinginan Pram untuk tukar tempat duduk.

"Tuh kan, No. Untung tadi cepet tukeran posisi." Pram mengamati gadis yang baru saja masuk dan duduk menghampiri Jihan.

Rino berdehem cukup keras sehingga membuat kedua gadis yang belum menyadari keberadaannya itu menoleh kearahnya.

Pram melotot. Ia pura-pura mengamati sekitar berharap tidak ketahuan sedang curi-curi pandang.

Sedangkan dimeja nomor delapan, Jihan berdecak sebal. "Doi lo tuh, bukannya nyamperin apa gimana."

"Apaan sih lo. Lo pikir dia suka sama gue, harus nyamperin gue segala."

"Kalau nggak suka kenapa waktu itu nyuruh Rino buat minta nomor hp lo. Aneh."

Elok melirik kearah Pram yang sedang mengobrol dengan Rino, sahabatnya yang punya otak berbanding terbalik dengannya. "Mungkin aja mau nanya apa gitu terus nggak jadi."

"Kalo gitu mending lo aja sana yang nyamperin dia duluan."

Elok memandang tak percaya. "Ogah."

"Yaudah kalo gitu sampai kapanpun kalian bakalan tetep kaya gini."

Elok tidak menanggapi, ia masih sesekali melirik ke arah Pram yang sesekali terlihat berbisik-bisik dengan Rino.

Jihan menjentikkan jarinya seolah baru saja mendapatkan ide cemerlang. "Apa gue ajak mereka berdua gabung kesini aja kali ya." Perkataan Jihan sukses membuat Elok melotot kaget.

"Udah biasa aja mata lo. Gue yakin lo bakal seneng." Jihan menoleh kearah Pram yang kebetulan atau memang sengaja melihat kearahnya. "Pram, kalian gabung kesini aja." Jihan sedikit menambah volume suaranya.

Rino yang mendengarnya langsung berbinar dan tanpa berpikir panjang langsung menarik Pram.

Rino buru-buru duduk didepan Jihan dan Pram berada didepan Elok.

"Hai, Jihan." Pram bergidik jijik mendengar nada sok manis Rino.

"Hai juga, Rino."

"Em, gue ke toilet bentar ya." Elok angkat suara setelah dari tadi hanya diam. Ketiganya mengangguk.

Elok bangkit berdiri menuju toilet. Ia tergesa-gesa memasuki toilet.

'Brukkkk'
Pantat Elok sukses mencium ubin toilet. Bajunya basah terkena air.

"Lo nggak papa?" Tanya sosok laki-laki yang menghampirinya.

Elok mendongak. "Lo?--" ia menatap tidak suka laki-laki didepannya.

"Gue anterin lo pulang sekarang." Tanpa mendengar persetujuan, ia langsung menarik Elok keluar cafe melewati pintu belakang.

"Lepasin tangan gue!" Elok meronta dan menghempaskan tangan yang dari tadi menariknya.

"Masuk."

"Gue bisa pulang sendiri."

"Masuk atau gue paksa."

"Nggak." Elok tetap bersikukuh tidak mau.

Laki-laki itu langsung menarik Elok untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah berhasil, ia memutari mobilnya dan duduk didepan kemudi masih dengan wajah tenangnya.

"Lo tuh ya. Dulu nyerempet nyokap gue, sekarang lo bikin masalah sama gue dengan maksa gue masuk ke mobil lo!" Elok menatap nyalang laki-laki disampingnya.

"Gue cuma bantuin lo supaya nggak dilihat aneh sama banyak orang karena baju basah lo itu." Lelaki itu menjawab dengan satu tarikan napas.

Elok menunduk, mengamati keadaannya. Benar juga, saat ini bajunya benar-benar basah. Kalau saja laki-laki itu tidak datang dan menariknya keluar cafe lewat pintu belakang, pasti ia harus melewati pintu depan dengan resiko menanggung malu karena dilihat banyak orang. Apalagi kalo Pram melihatnya, bisa-bisa ia malu setengah mati.

'Eh, lewat pintu belakang? Apa dia si pemilik cafe? Atau anak si pemilik cafe?' bodo amat, Elok tidak mau repot-repot memikirkan soal itu.

Ia kemudian membuka tasnya dan mengambil ponsel untuk mengabari Jihan kalau ia sudah pulang duluan dengan alasan ada urusan mendadak.

"Baik juga lo ternyata." Karena lawan bicaranya tidak menanggapi, ia mencoba bertanya sekedar basa-basi. "Nama lo siapa? Gue lupa."

"Mahesa." Lelaki itu menjawab tanpa mengalihkan pandangannya. Setelah itu keduanya saling diam. Hanya ada suara mesin mobil yang kemudian dimatikan.

"Thanks ya. Sorry buat kata-kata gue yang tadi." Ucap Elok sambil membebaskan diri dari seatbelt.

Mahesa mencekal lengan Elok sebelum keluar dari mobilnya.

"Gue minta nomor telepon lo? Kalo boleh sih."

"Karena lo udah baik sama gue, sini hp lo."

Mahesa menyerahkan ponselnya. Elok mengetikkan nomor teleponnya dan menyerahkan kembali kepada sang pemiliknya.

"Thanks."

"Sama-sama. Gue duluan. Lo hati-hati baliknya."

"Oke."

Mahesa mengamati Elok sampai benar-benar masuk ke dalam rumahnya.

'cantik' batinnya.
.
.
.

****

Secret Admirer√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang