[21] : Surat Terakhir

4 0 0
                                    

"Gimana? Enak nggak dihukum?"

Jihan menghampiri Elok yang sedang menyelonjorkan kakinya dipinggir lapangan sambil mengibaskan-ibaskan selembar kertas ke wajahnya.

"Yang namanya dihukum mana ada yang enak, Han."

"Lagian lo sih. Kenapa bisa terlambat?"

"Biasa. Telat bangun."

Jihan menghela napasnya. "Padahal udah lama nggak kesiangan kan?"

"Semalem gue begadang." Elok mengucek matanya yang tiba-tiba terasa gatal.

"Ngapain?"

"Nyelesaiin baca novel, gue habis beli novel baru kemarin."

"Gue pikir jalan sama berondong lo."

"Makin kesini gue makin males sama dia."

Jihan terperanjat. "Kok gitu?"

"Nggak asik."

"Dulu gue pernah bilang kan, dia itu nggak ada apa-apanya kalo dibandingin sama Pram. Lo sih nggak percaya." Jihan berdecak.

"Gue nggak suka sama dia sebenarnya."

"Kalo nggak suka kenapa mau jadi pacarnya, PINTER." Jihan memutar bola matanya malas.

"Biar bisa move on dari Pram."

"Nyatanya gimana?"

Elok menoleh kearah Jihan. "Maksud lo?"

"Berhasil nggak?"

"Belum. Tapi gue yakin suatu saat pasti berhasil."

"Kalo seandainya saat ini Pram nembak lo, gimana?"

Elok menganga. " Gimana apanya?"

Jihan berdecak sebal. "Ya, lo tolak apa lo terima?!"

"Tolak." Elok menjawab asal.

"Yakin?" Jihan menatap Elok tidak percaya.

"Biar dia ngerasain sama seperti yang pernah gue rasain."

"Nggak yakin gue." Jihan tertawa mengejek.

"Bodo amat." Elok berdiri, melangkahkan kaki menuju UKS. Untuk saat ini dia akan bolos mata pelajaran. Matanya tidak bisa diajak kompromi. Ia mengantuk.

Jihan melangkahkan kaki menuju kelasnya. Ia tidak mendapati Elok ditempat duduknya. Baru saja ia akan menelungkupkan kepalanya diatas meja. Ia melirik selembar kertas bersampul pink berada di laci Elok. Ia melirik kesamping. Hanya ada Pandu, teman satu kelasnya. Surat itu juga berinisial 'P'. Apa jangan-jangan Pandu?

"Ndu." Merasa namanya dipanggil, Pandu menoleh. Ia menggerakkan bibirnya mengatakan 'Apa' tanpa suara.

"Ini surat, lo yang nulis?" Jihan menunjukkan surat bersampul pink itu.

Pandu berdiri sambil membawa buku yang tadi dibacanya. "Bukan." Ia berlalu keluar kelas.

"Dasar cuek bebek." Jihan berteriak kesal.
Ia kembali memandangi surat itu. Muncul rasa penasarannya. Ia membuka surat itu perlahan-lahan kemudian membacanya.

Lain kali jangan begadang lagi, nanti kesiangan. Dihukum itu nggak enak.
Oh ya, ini surat terakhir gue. Bukan gue udah nggak mau nulis surat buat lo lagi, tapi kata temen lo, lo udah punya pacar. Jadi, gue nggak akan ganggu hubungan kalian.
Gue selalu kagum sama lo, Elok.
~P~

Aneh. Jihan mengerutkan keningnya. Ia berusaha menebak-nebak, akankah dari Pandu?

Rasanya tidak mungkin. Lalu siapa? Tadi saat ia baru memasuki kelasnya, hanya ada Pandu yang sedang sibuk dengan buku.

Lalu siapa?
Atau Pandu hanya pura-pura sibuk dengan bukunya?

"Bodo."
Jihan mengembalikan surat itu ke laci Elok. Ia menelungkupkan kepala diatas lipatan tangannya. Melanjutkan keinginannya untuk tidur yang tadi sempat tertunda.
.
.
.

****

Secret Admirer√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang