Man Rabbuka?!

7.4K 263 36
                                    

"Minta euy, lagi. Belum ngangkat nih minumannya," kataku, kepada salah satu temanku, di gudang belakang sekolah.

"Nih, Ndri," seorang temanku ngasih aku segelas kecil minuman lagi. "Buset, si Andri udah minum berapa tenggakan sendiri tapi belum ngangkat juga."

Waktu itu kami sedang bolos sekolah, dan atas ajakan setan salah satu teman, kami memutuskan untuk minum-minum alkohol di gudang belakang sekolah. Aku udah nenggak sekitar 6 gelas kecil minuman fermentasi anggur, dan belum juga mampu membuat kepalaku pening. Masih belum terasa efek dari minuman tersebut.

Lalu seorang teman memberiku satu gelas kecil lagi.

Sambil menghisap rokok dan mengepulkan asapnya, perlahan aku juga menenggak minuman itu kembali. Glek! Satu gelas kecil tandas lagi di tenggorokanku.

--

Pagi di Sekolah

Hari itu sekolah sedang ada razia rambut. Anak-anak kelas mendadak ribut karena menyadari rambut mereka panjang-panjang dan kemungkinan besar akan digunting paksa kalau razia begini. Dan karena aku tipe anak yang paling nggak mau berususan sama guru dalam hal disuruh potong rambut, maka aku memutuskan untuk kabur bersama beberapa teman yang lain. Rambutku panjang, agak gondrong, bagian depannya sudah melewati mataku sendiri. Itu kenapa aku memilih bolos, sebab aku nggak mau rambutku digunting paksa oleh guru yang biasanya hasil potongannya udah kayak kriminal ketangkep polisi. Ambyar.

Boloslah kami.

Di perjalanan bolos, seorang teman ngasih usul, 'Mabok di gudang belakang sekolah, yok?'

Kami semua menoleh dan terdiam sebentar.

Tanpa pikir panjang,

Ya hayok.

Kami semua nge-iya-in ajakan setan tersebut.

.

Maka kami sepakat untuk bantingan duit. Bantingan adalah istilah lazim pengganti kata patungan. Kami semua mengeluarkan hampir seluruh uang yang kami bawa. Berapapun uang yang sudah keluar dari kantong, maka itu sudah termasuk uang ikhlas. Mau besar atau kecil nominalnya. Bantingan ketika mabok adalah simbol kesetiakawanan. Bagaimana besar atau kecilnya nominal uang yang kita keluarkan, kita tetap akan merasakan minuman yang sama. Porsi yang sama. Tidak dibeda-bedakan.

Setelahnya kami meminta salah seorang teman untuk membeli minuman tersebut di warung jamu yang sudah buka sejak pagi hari. Sementara yang lainnya menunggu di gudang.

Beberapa lama kemudian, di gudang belakang sekolah sudah tersedia tiga botol anggur, dan dua bungkus rokok. Juga aqua gelas yang wadahnya udah dipotong setengah guna dipakai sebagai gelas minum. Minumlah kami hari itu.

"Ndri, Andri," panggil temanku, setelah lama-kelamaan tiga botol tersebut tandas oleh tenggorokan-temggorokan kami. Namun aku masih belum sadar kalau dipanggil. Baru di panggilan kesekian, aku menoleh.

"Apa?"

"Kami balik duluan lah, ya. Mau pada ke rental ps. Ikut, nggak?"

"Nggak ah, aku di sini aja."

"Sendirian doang?"

"Iya, kalian duluan lah sana ke rental. Aku nyusul abis sebatang rokok ini," kataku, sambil kembali menghisap rokok itu.

"yaudah, ati-ati kesurupan sapu."

"Brengsek."

"Duluan, Ndri, jangan lupa botolnya dibuang."

Aku mengangguk.

Satu persatu temanku keluar dari gudang. Ada yang jalannya masih lancar, ada yang udah agak sempoyongan sedikit. Tapi percayalah, ini bukan kali pertama kami minum, melainkan sudah berkali-kali. Jadi meski sempoyongan, aku percaya kalau untuk menyetir motor mah, mereka masih aman.

Andri, Jogja, dan PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang