Previous Part:
Hari-hariku jelas tidak akan sama lagi. Hari pertama di pesantren, aku sudah melihat dengan mataku sendiri bagaimana salah satu santri di sini, Noval, dihukum dengan cara ditaruh di tengah lapang, kemudian rambutnya dibotakin paksa dan tubuhnya disiram air septitank.
Noval dihukum hanya karena membawa hape dan entah kesalahan lain apa sehingga hukuman tersebut jatuh kepadanya. Hukuman yang membuatku buru-buru masuk ke dalam kamar, mengambil hapeku, lantas menyembunyikannya di satu tempat yang kuharap tidak ada yang tahu.
Sebab di sini, membawa hape dan ketauan membawa hape adalah malapetaka yang kita tahu, kita tidak bisa menghindar dari hukuman yang kelak akan menanti kita.
====
Selepas menyembunyikan hapeku yang kuharap nggak akan ketauan sama Ustadz, aku kembali keluar. Aku melihat Noval berjalan ke arah asrama, dengan beberapa orang menghindari dia sebab allahu bau badan dia yang abis kena guyur air septitank itu bau banget. Dia berdiri di bawah asrama, dan aku ngeliat dia ngobrol sebentar dengan seseorang yang dia temui di bawah. Sementara aku masih di lantai tiga asrama Sultan Agung ini.
Saat sedang melihat-lihat ke arah Noval, tiba-tiba Noval melihat balik ke arahku dari bawah sana. Lalu kami saling tatap. Aku pura-pura mengalihkan pandangan ke arah lain karena akward ada dua laki-laki saling pandang kayak gini. "Heh, kamu!" suara Noval terdengar dari bawah sana. Aku masih memandangi arah lain, tidak sadar kalau panggilan dari Noval itu adalah panggilan buatku. "Woy, santri baru, Woy."
Setelah aku sadar panggilannya buat aku, aku menoleh lagi ke arahnya. "Apa?"
"Tulung ambilin minyak goreng di atas lemariku, lemariku ada di sebelahmu," katanya.
Aku paham minyak goreng yang dibawanya. Tadi sore, sebelum dia dibanjur air septitank, aku memang ngeliat dia bawa sekantong minyak goreng. Aku langsung masuk ke kamar, lalu mengambil minyak yang dia suruh, tanpa tahu buat apa minyak itu.
"Wey, mas. Ini minyaknya," kataku.
"Yo, lempar aja dari atas."
"Beneran dilempar? Ini kalo nggak ketangkep terus pecah, aku nggak tanggung jawab, ya."
"Iya, gek lempar," jawab Noval, dengan logat Jawa Jogja yang lumayan kental, nyuruh aku agar segera ngelempar minyak yang kubawa.
Kemudian kulempar sekantung minyak yang kuambil barusan. Hap! Noval berhasil nangkep minyak yang aku lempar tadi. Setelahnya Noval pergi dengan badan yang masih berlumuran air septitank, dan minyak yang dia bawa dari aku tadi.
"Mas, itu minyak goreng tadi buat apa dah?" tanyaku, pada seorang santri yang baru keluar dari kamar lain dengan menenteng buku dan pakaian rapi.
"Buat mandi," jawabnya.
"Hah? Gimana? Mandi pake minyak? Itu mandi apa goreng krupuk?"
"Iya, seriusan buat mandi. Lha kan itu dia baru disebor make tai, kalo mandi nggak make minyak gitu, badannya masih kerasa bau."
"Seriusan?"
"Serius. Kalo kamu nggak percaya, kamu rasain sendiri lah dibanjur make air gitu."
"Ya, jangan."
"Yaudah makanya percaya aja."
"Oke."
Jawabanku mengakhiri obrolan singkat dengan santri tersebut. Setelahnya, dia, bersama beberapa santri yang lain yang juga membawa buku dan pakaian rapi sama sepertinya, pergi keluar. Kutebak mereka akan ngaji, mengingat beberapa santri lain yang kulihat membawa Quran di dekapannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/185341603-288-k893961.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Andri, Jogja, dan Pesantren
Humor"Wah, anjrit. Di pesantren. Nggak bisa mabok sama ngewe lagi, dong?!" Bagaimana mungkin seseorang yang ingat Tuhan hanya ketika ada masalah besar dipaksa untuk belajar agama? Bagaimana ceritanya remaja yang hobinya mengkoleksi dosa pada akhirnya har...