Hukuman

3.8K 267 38
                                        

It's the day.

Huft.

Aku menghela nafas, sambil berjalan menuju kamar selepas sarapan tiba. Pagi ini matahari sudah bersinar terang, cahayanya masuk ke dalam kamar, menerangi kamarku. Di dalam kamar, tersusun beberapa koper yang berisi baju-baju yang dimasukkan oleh ibu kemarin sore. Kamarku sudah terlihat rapi, ibu yang membereskannya ketika aku makan dan mandi. Beberapa barang yang biasanya ada di kamar pun lenyap, karena aku masukkan ke dalam koper untuk kubawa pergi hari ini.

Ke pesantren.

Jam delapan pagi, aku angkat beberapa koper ke mobil yang sudah ada di halaman rumah -sudah ayah siapkan dan udah dipanasin pula. Aku bersandar di dinding luar rumah, menatap koper yang sudah ada di dalam mobil selepas kumasukkan barusan. Kurogoh kantong celanaku, lalu kuambil hapeku. Aku menghubungi beberapa teman, berkata bahwa aku akan berangkat ke pesantren hari ini. Tidak lupa, aku telpon Sania, memberitahu bahwa aku akan berangkat. Sesuai pesan dia, bahwa aku harus menghubunginya menjelang pergi.

Aku menelpon Sania.

Kami hanya berbicara singkat sebab ayah sudah nyuruh aku agar segera bersiap-siap.

Sania bilang aku untuk berhati-hati di jalan.

Aku berkata bahwa, 'Siap, laksanakan. Doakan aku, ya!'

Aku berbicara semenyenangkan mungkin, menutupi bahwa akupun sedang sedih karena harus meninggalkan banyak hal hari ini. Sania berbicara dengan datar, dengan nada sedih yang tidak dapat ditutup-tutupi. Bagaimanapun, aku kenal Sania sudah lama. Mau dibuat sebagaimanapun nada bicaranya, terkadang aku bisa menebak apa yang sedang dia rasa. Dan saat ini, aku tahu dia sedih.

Maafkan aku.

Sania rela memilih ke wc sebentar sebab ketika aku telpon dia ada di kelas, sedang jam belajar sekolahnya. Sekolahnya, sebab sudah bukan lagi sekolahku. Hari ini sekolah tetap masuk, seperti biasanya. Tetap masuk selepas aku dikeluarkan dari sana.

Kumasukkan hapeku ke dalam kantong celana kembali. Setelahnya, aku masuk ke mobil -tepat setelah Ibu masuk ke dalam mobil dan ayah mulai menyalakan mesin mobil

Aku duduk di kursi tengah, sedang ayah dan ibu di kursi depan.

Mobil kemudian ayah jalankan.

Aku menatap rumah yang perlahan menjauh. Semakin lama semakin mengecil ditelan bangunan lain yang kulewati.

Aku menatap jalanan sepanjang area itu. Jalanan yang biasanya aku lewati ketika berangkat ke sekolah maupun pulang dari sana.

Aku menatap kosong. Membayangkan biasanya bersama teman, seringkali kami melewati jalanan ini bersama-sama. Bercanda, dan menciptakan banyak sekali tawa bahagia.

Ada satu bagian yang juga kutakutkan ketika aku akan pergi ke pesantren. Perihal aku harus pergi dari sesuatu yang sudah kuanggap menyamankan; teman, keadaan, kekasih, dan lainnya. Ada satu pertanyaan muncul di kepala ketika perjalanan semakin jauh meninggalkan rumah dan semakin dekat menuju tujuan: Di sana, akankah aku menemukan banyak orang yang sama, seperti aku menemukan orang-orang di tempatku tinggal?

Nafas kuhela kemudian. Berat, terasa berat. Bagaimanapun, tidak ada satu bagian dari meninggalkan yang terasa ringan. Dan hari ini, aku meninggalkan tidak hanya satu hal, melainkan banyak sekali hal.

Mulai hari ini, satu cerita baru akan banyak muncul.

Tentang Jogja, pesantren dan seluruh yang ada di dalamnya.

==

Sore hari, setelah perjalanan panjang dan jeda untuk beberapa kali makan -sebab demi apapun, meski di mobil hampir nggak ngapa-ngapain, tapi perjalanan jauh selalu bikin perut cepet laper- akhirnya kami sampai di tujuan.

Andri, Jogja, dan PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang