Anjing, di pesantren. Nggak bisa mabok sama ngewe lagi, dong?!
Ayah tidak main-main ketika berkata bahwa aku sudah didaftarkan ke sekolah baru di Jogja. Buruknya, ini pesantren. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Pesantren. Pesantren. Pesantren.
Sepanjang siang sampai sore, di kamar, aku terus memikirkan bagaimana aku nanti di sana. Pesantren, tempat orang-orang soleh ada. Tempat di mana orang-orang soleh berkumpul untuk beribadah dan belajar agama. Uhm-aku terakhir ngaji aja, SD. Itupun tiap jam ngaji, aku selalu bolos ke rentalan ps atau main petak umpet bareng temen-temen yang lain. Bisa dikatakan, ilmu agamaku benar-benar remedial total.
Saat sedang pusing memikirkan soal pesantren di kamar, tiba-tiba pintu kamarku dibuka. Ibu masuk, dengan wajah yang masih sama seperti ketika aku dimarahi habis-habisan oleh ayah. Ibu lalu membuka lemariku, dan mengeluarkan beberapa pakaianku dari dalam lemari.
"Mau ngapain, Bu?"
"Mau masuk-masukin baju kamu ke koper," kata ibu, datar.
".. aku bener-bener bakal dimasukin ke pesantren, ya, Bu?"
"Iya, ayah udah daftarin kamu ke sana tadi."
"Kapan berangkatnya?" tanyaku, memastikan. Kalaupun memang aku benar-benar dikeluarkan dari sekolah dan akan pindah ke pesantren, setidaknya aku ingin pamitan terlebih dahulu pada teman-teman laknatku. Sialan, mereka yang bawa aku ke gudang sekolah, mereka yang lolos sedangkan hanya aku seorang yang dikeluarkan. Peler kuda.
"Besok." kata ibu, santai.
"HAH?!"
YA MASA BESOK BANGET, SIH, BU?!!!!!
"Biar kamu nggak ketinggalan pelajaran di pesantren."
YA NGGAK BESOK BANGET JUGA KALI, BU. AKU TERAKHIR NGAJI AJA TUJUH TAHUN YANG LALU YA ALLAHHHHHHH?!!! SEGALA DIBILANG TAKUT KETINGGALAN PELAJARAN DI PESANTREN LAH.
Tapi ibu tidak berbohong. Aku memang harus diberangkatkan besok harinya. Ayah tidak mau aku terlalu lama di rumah dengan tidak melakukan apa-apa. Maka, seketika aku langsung mengambil hapeku, mengabari kabar buruk ini ke teman-temanku untuk pamitan dan meminta maaf pada mereka bahwa aku hanya bisa pamitan lewat ponsel, sebab ada seseorang yang harus aku temui sore ini. Seseorang yang harus aku pamiti langsung di depan wajahnya.
"Bu, motor udah diambil di sekolah?" tanyaku pada ibu yang masih sibuk mengambil beberapa potong pakaian di lemariku.
"Udah, itu ada di depan."
Aku langsung keluar dari kamar, menyambar kunci motor cadanganku dan berjalan cepat ke arah luar agar tidak ketahuan oleh ayah. Aku keluarkan motorku buru-buru, lalu aku masukan kunci dan langsung aku pergi meninggalkan rumah untuk menemui seseorang.
--
Aku memacu motorku dengan kecepatan cepat-namun tidak cepat-cepat banget. Jalanan kota Cirebon sedang agak macet sore itu, ngebut di jalanan yang kondisinya sedang seperti ini hanya membuatku menjemput maut lebih cepat. Maka, aku memacunya dengan kecepatan sedang. Menyalip satu mobil, dan sebisa mungkin mencari celah di antara kendaraan-kendaraan agar bisa segera sampai di tujuan.
Aku sampai di depan rumah yang kutuju tidak lama setelahnya. Rumah ini, bukan rumah yang asing bagiku. Kerapkali aku mampir ke sini, sekadar membawakan martabak manis untuk penghuni rumahnya, atau mengobrol dengan anak si-pemilik rumah di ruang tamu. Pemilik rumah ini juga sudah sangat akrab denganku karena sudah terlalu seringnya aku ke sini.
Setelahnya kuparkirkan motorku di halaman rumah itu.
Aku menyapu pandangan ke sekeliling halaman dan menyadari bahwa rumah ini sepi. Karena sudah terlalu sering ke sini, aku sudah paham bahwa pemilik rumahnya terkadang baru ada di sini ketika malam tiba, sehingga di sore hari seperti ini rumah ini hanya biasa ditempati oleh anaknya. Aku bergegas berjalan menuju pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andri, Jogja, dan Pesantren
Humor"Wah, anjrit. Di pesantren. Nggak bisa mabok sama ngewe lagi, dong?!" Bagaimana mungkin seseorang yang ingat Tuhan hanya ketika ada masalah besar dipaksa untuk belajar agama? Bagaimana ceritanya remaja yang hobinya mengkoleksi dosa pada akhirnya har...