Ndri, Bisa Bantu Aku? Plis

2.4K 131 9
                                    

Previous Part:

Aku dan Sania menginap di salah satu hotel di Jogja. Di sana, kami kembali melakukan kegiatan yang dulu seringkali kami lakukan di rumah. Entah di rumahnya, atau di rumahku. Tergantung rumah siapa yang sedang sepi ketika itu.

Dan kami melakukan hal itu lagi di sini. Di Jogja. Kami saling bercumbu, saling menyentuh, saling mendesahkan nama masing-masing, hingga kemudian ketika hendak membuka celana dalam miliknya, Sania melarangku melakukannya.

"Jangan buka celana dalamnya, ya, Ndri?"

"Kenapa?"

"..... Aku lagi dapet,"

Sungguh bajingan.

--

Kegiatan kami di dalam kamar hotel berakhir dengan hanya foreplay biasa; dengan saling sentuh, tanpa kami melakukan hubungan sampai lebih jauh. Brengsek, sepanjang aku ada di dalam sana, sebenarnya aku kesal luar biasa karena Sania nggak bilang lebih awal kalau dia lagi dapet. Tapi bagaimanapun, rasa kesalku sebisaku tidak aku tampakkan di hadapan dia. Mens, kan, siklus, bisa datang sesuai waktunya. Mungkin sial bagi kami, waktu tersebut datang ketika kami justru lagi ketemu. Dan aku tidak berhak marah atas hal itu. Atau lebih tepatnya, tidak berhak menunjukkan kemarahanku atas hal yang dia alami sebagai siklusnya.

Tepat ketika jam sudah menunjukkan pukul 12, dan waktunya kami check out dari hotel, aku mengantar Sania pulang ke stasiun. Mengantar dia kembali pulang ke Cirebon. Jam berangkat kereta dia jam 1 siang, maka sebelum mepet jamnya, aku dan dia sudah harus ada di sana.

"Andrii, maaf hehehe,"

Sepanjang perjalanan menuju stastiun, di atas motor Sania terus menerus meminta maaf karena lupa ngasih tau aku kalau dia lagi dapet.

"Iya, Sania. Nggak apa, yang penting kan kita ketemu," ucapku sok cool dan menganggap semuanya nggak apa-apa, yang mana di dalam hatiku, aku mengucap: anying lah, segala mens-nya pas banget pas ketemu sih!

"Hehe, love youuu!" lanjut Sania, sambil memelukku. Dia berusaha menyandarkan kepalanya di punggungku, meski sandarannya selalu gagal karena terhalang helm yang sedang dia pakai. "Terima kasih, ya, Andri, udah ngajak aku jalan-jalan keliling Jogja dari kemarin,"

Aku menatap Sania lewat kaca spion motor, kemudian tersenyum. Dari belakang, sepertinya Sania melihatku tersenyum, sehingga dia semakin mengeratkan pelukannya.

Terik menyentuh tubuh kami ketika itu, dan tidak terasa, keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku, hal ini semakin membuatku mempercepat laju motorku agar semakin sampai di stasiun.

Jogja siang hari memang terbaik panasnya.

--

Kami sampai di stasiun setengah jam lebih awal dari kereta yang akan membawa Sania pulang.

Suasana di stasiun lumayan ramai. Beberapa orang hilir mudik melewati kami sambil membawa koper maupun tas mereka. Aku berjalan di samping Sania, menuju ke arah loket penukaran tiket. Sania menukarkan cetakan tiket yang ada di hapenya menjadi tiket kertas, kemudian tiketnya dia genggam Selepas Sania menukarkan tiketnya, petugas di sana mempersilakan Sania untuk masuk ke gerbang dalam stasiun, gerbang yang hanya boleh dimasuki bagi para penumpang kereta saja.

Sebelum Sania masuk ke sana, dia berdiri di depanku.

"Hey," ucap dia, sambil matanya menatap ke arahku.

"Hm?"

"Take care, ya," kata dia.

"Harusnya aku ih yang bilang gitu," potongku. "Kan, kamu yang mau nempuh perjalan jauh, haha," balasku, sambil tertawa mendengar ucapannya. Meski sebenarnya, kalau boleh jujur, jauh di dalam hatiku aku sedih melihat Sania akan pergi lagi.

Andri, Jogja, dan PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang