Lembar Ketiga

10.3K 230 14
                                    

"Bi—" tercekat.

Gadis itu terduduk dengan lemas. Matanya tak kunjung berhenti mengeluarkan air. Bibirnya yang gemetar terus menggumamkan nama laki-laki itu. Laki-laki yang terbaring bersimbah darah di depannya.

Gadis itu menunduk. Mendekatkan kepalanya ke dada sang laki-laki. Hening. Tangannya terangkat menutup mulut. Ia menggeleng kuat lalu berteriak histeris. Kemudian pandangannya turun kearah tangan laki-laki itu yang menggenggam bandana kuning miliknya.

Patah.

Bandananya patah dan hatinya juga.

✈ ✈ ✈

Ruang kelas yang satu ini memang kondusif. Begitu tenang dan damai. Tentu saja, ini 11 Mipa 1–yang berisi manusia-manusia terpilih–begitu, anak-anak Bintara menyebutnya. Bahkan, ketika bel sekolah berbunyi dua kali pertanda jika guru-guru akan rapat, kelas itu tetap tenang.

Tidak seperti kelas seberang.

"Heran, ya, sama anak Bahasa empat. Nggak pernah bisa diem. Semenit, aja,"

Laki-laki yang dijuluki Raja Matematika itu mengangguk. Benar. Gerutuan teman sebangkunya itu akurat seratus persen.

Laki-laki itu spontan memejamkan mata ketika bunyi gebrakan keras sampai di telinganya. Sedangkan teman-temannya hanya mendengus, seperti sudah memaklumi tingkah ajaib dari penghuni kelas itu. Sang Raja Matematika memandang tajam kearah pintu kelas seberang yang terbuka. Menampilkan pemandangan beberapa laki-laki yang sedang menyusun meja di depan kelas. Entah apa yang sedang terjadi di kelas itu. Rusuh.

✈ ✈ ✈ 

"Bimo, Bimo, taruh sini!"

"Elah, lo bilang di kiri, Setan!"

Laki-laki yang dipanggil Bimo itu berdecak. Tetapi ia tetap menuruti ucapan dari bronya itu. Ia pun memindah beberapa kursi yang berada di pojok kiri ke depan meja yang sedang mereka susun di depan kelas. Dengan badan gempalnya, ia dengan mudah memindahkan kursi-kursi itu.
Septa, selaku pencetus ide dari semua ini mulai celingukan. Ia mencari benda yang biasa ia gunakan sebagai mic palsu. Pandangannya mengedar dengan teliti, hingga, nah, dia ingat. Dengan cekatan, ia berlalu menuju bangku paling belakang di pojok kanan.

"Turu bae, lo," Septa menyentil lengan penghuni bangku itu yang tengah meringkuk.

Disaat semua perempuan berkumpul di depan kelas untuk menonton konser dadakannya, perempuan yang satu ini malah dengan khidmat memejamkan mata.

"Geseran dikit, Mar," pinta Septa kemudian. Tak ia tahu, perempuan itu merespon sentilannya. Ia berdehem pelan. Sebenarnya, perempuan itu tidak tidur. Belum. Lagipula, bagaimana juga ia bisa tidur ketika suasana kelasnya begitu rusuh.

Kesal karena perempuan itu tak beranjak sedikitpun, Septa menarik pelan lengan perempuan itu, "Heh, Marimar! Minggiran, elah," intruksinya lagi.

Kemoceng–mic palsunya itu berada di kolong meja yang ditempati oleh perempuan itu. Jadi, jika perempuan yang ia panggil Marimar itu tidak menyingkir, bagaimana bisa konser dadakannya akan berlangsung. Septa tidak ingin membuat fansnya kecewa. Tapi perempuan itu masih saja tak bergeming. Ia hanya mengibaskan tangannya mengusir Septa. Semakin dibuat kesal, Septa pun menarik rambut perempuan itu.

"Rambut lo bagus. Gimana kalo dipotong aja?"

"Lah, ide bagus. Gimana kalo dibotakin aja? Biar nggak perlu pake bandana kumal, lo, itu! Bikin sepet mata!"

Septa memejamkan mata begitu bokongnya menyentuh lantai dengan keras. Belum sempat laki-laki itu memproses apa yang terjadi, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik paksa untuk berdiri. Kelas yang semula ramai mendadak menjadi hening. Beberapa laki-laki yang masih sibuk menata meja di depan kelas pun menghentikan kegiatannya. Mereka menahan nafas ketika perempuan itu menarik kerah Septa dengan kasar. Seperti tau apa yang akan terjadi selanjutnya, Bimo mendekat kearah perempuan itu. Memegang pundaknya pelan penuh kehati-hatian.

Pesawat Kertas untuk MardaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang