Lembar Ketujuh

3.5K 127 11
                                    

Bagi beberapa orang, teman lama adalah bagian dari masa lalu. Dari kenangan. Yang bahkan akan tergantikan perannya oleh orang-orang baru di masa depan. Tapi, tidak begitu untuk Septa. Dia telah mengenal Bimo sedari masih di dalam perut. Tentu saja, rumahnya dengan Bimo itu hanya berjarak tembok setebal sepuluh senti. Meski sempat berpisah sekolah sewaktu SMP, tak lantas membuat komunikasi keduanya merenggang. Bahkan, ketika Septa harus pindah rumah, begitu bertemu kembali di SMA, tidak lantas membuat keduanya asing. Septa berani jujur, dari semua teman yang ia miliki, Bimo adalah yang terbaik. Tidak peduli seberapa menyusahkannya tubuh gempal itu ketika memiting lehernya, menyikut lengannya, atau hampir menghimpitnya ke tembok ketika duduk sebangku. Bimo tetap yang terbaik.

Tak ubahnya dengan Marda. Meski Rendi begitu absurd dan kelewat atraktif, Rendi yang terbaik. Setiap gadis itu kesusuhan, Rendi selalu ada disampingnya. Mendorongnya ketika akan mundur. Menahannya ketika akan terjungkal. Berkali-kali. Bahkan beberapa menit yang lalu, Marda masih ingat dengan jelas yang Rendi katakan.

"Mau bolos aja?" ia tahu betul itu bukan pertanyaan melainkan ajakan.

Dan sebagaimana Rendi yang peduli dengan kondisinya, Marda pun begitu. Ia tidak ingin laki-laki itu mendapatkan Surat Peringatan ketiga dan berakhir terkena skors. Tidak, untuk yang kali ini.

Karena itu, disinilah Marda. Kembali menelungkupkan kepalanya di atas meja. Terima kasih kepada Bu Fika yang tidak bisa mengisi kelasnya hari ini. Sehingga, wanita bersuara lembut itu tidak akan susah-payah meneriaki Marda untuk keluar kelas.

11 Bahasa 4 tidak bisa sunyi begitu mendapat berita demikian. Beberapa lingkaran-lingkaran kecil langsung terbentuk. Mulai dari yang membahas pernak-pernik, make-up, game, sampai mereview kelakuan orang lain. Marda sendiri lebih memilih berdiam diri di bangkunya. Ia tidak memejamkan mata seperti biasa. Takut kegelapan itu kembali menyapa. Jadi, gadis itu hanya diam. Membiarkan jeritan-jeritan itu menggaung di kepalanya sembari sesekali menarik nafas panjang. Bukan perkara mudah untuk terlihat baik-baik saja setelah hal itu terjadi, lagi. Tapi, dia adalah Marda. Yang terbiasa terlihat baik-baik saja.

Marda menatap tembok krem di depannya yang entah sejak kapan terlihat lebih menarik daripada obrolan teman-teman sekelasnya. Teman? oh, Marda lupa bilang, ya? dia tidak berteman dengan orang-orang di kelasnya. Bahkan, sejauh yang Marda ingat, dia hanya tahu Septa, Bimo, dan Siska. Ya, hanya tiga orang itu. Kalau-kalau Septa tidak sering merecokinya dan Bimo yang tidak lengket pada Septa, mungkin Marda tidak akan mengenal keduanya. Juga, jika Siska yang tak meneriakinya untuk tidak bolos setiap pelajaran matematika.
Marda tidak tahu. Hanya saja, orang-orang di kelasnya terlihat tidak menyukainya. Terutama para perempuan. Setelah tak satu dua kali dia terlibat kerusuhan, mata mata itu tidak pernah terlihat ramah padanya. Ada yang takut, risih, bahkan ada pula yang seolah menyuruh Marda segera enyah saja dari pandangannya. Marda sendiri tak masalah dengan itu. Toh, ia juga tidak bisa mengatur bagaimana cara pandang orang lain pada dirinya. Marda tidak pernah berupaya untuk terlihat baik, apalagi harus memaksakan dirinya untuk berbaur. Menurutnya, teman itu tidak perlu dicari. Mereka akan datang dengan sendirinya dan menerima apa adanya.

Kursi di sebelahnya berderit. Tanpa menoleh, Marda tahu itu siapa. Siapa lagi yang memiliki kekehan sejelek itu? dan kemauan sebesar itu untuk dekat-dekat dengan Marda–selain Septa.

Marda mengepalkan tangan, keras. Mengetatkan rahangnya sendiri ketika merasa degup jantungnya lebih cepat. Ia masih ingat dengan benar bagaimana tangannya mencengkeram kerah Septa hari lalu. Ia merasa bersalah, tapi tidak tahu harus bagaimana. Dan kalau laki-laki itu merecokinya lagi hari ini, ia tidak akan segan untuk,

"Maaf,"

Marda separuh menegang. Tidak berekspektasi akan mendengar kalimat itu dari Septa. Tapi ia masih enggan menoleh. Bisa saja ucapan maaf itu bukan untuknya, kan? atau, telinganya yang salah dengar. Tetapi kepalan pada tangannya itu berangsur-angsur mengendur.

Pesawat Kertas untuk MardaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang