Lembar Kelima

2.6K 113 4
                                    

Jika kamu menginginkan kebahagiaan, kamu harus mencarinya.
Tapi aku tidak tahu itu dimana.

✈ ✈ ✈ 

6:43:27

Pak Rudi tersenyum culas. Mengalihkan pandang dari ponsel dan kembali fokus menggerakkan pion catur di depannya. Sedangkan Ferdi yang sedang berjaga di belakang gerbang menggeleng geli. Tidak habis pikir dengan effort Pak Rudi yang sampai menunggu di depan pos satpam hanya untuk memastikan dengan mata kepalanya sendiri jika Marda akan terlambat masuk seperti biasa.

6:44:13

Senyum Pak Rudi makin merekah. Pak Kunto yang duduk di seberangnya sampai dibuat ikut tersenyum. Pak Rudi benar-benar tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya. Karena sebentar lagi, satu menit lagi, jika gadis itu belum juga datang, maka beban sebesar Gunung Petung di bahunya itu akan menghilang. Ia tak akan lagi sakit kepala mendapati laporan-laporan tidak mengenakkan dari guru-guru mengenai tingkah ajaib gadis itu. Gadis yang selalu saja membuat masalah dan hobi sekali melanggar aturan. Gadis dengan penampilan awut-awutan, tingkah sembrono, dan petakilan. Gadis yang tidak perlu berpikir dua kali untuk mengacak-acak SMA Bintara.

Gadis it—

"Skakmat!"

Pak Rudi menatap nanar pion rajanya yang terkepung. Tangan itu memindahkan pion-pion Pak Kunto dengan ahli. Memblokade pion miliknya. Tapi, tangan ramping nan putih itu seperti tangan perempuan. Pak Rudi lantas mendongak. Nah, gadis ini. Gadis yang sedari tadi ia tunggu kedatangannya. Sedetik berikutnya, tubuh Pak Rudi berjingkat. Seakan tersadar, ia spontan berdiri dan menatap ponselnya dengan pandangan terang.

6:44:58

Di detik berikutnya, pandangannya meredup.

✈ ✈ ✈ 

Jam dinding di atas papan tulis di depan kelas masih menunjukkan pukul tujuh. 11 Bahasa 4 cukup terkejut mendapati Marda yang sudah duduk di kursinya dengan anteng. Gadis itu terlihat menguap beberapa kali. Sungguh, matanya bahkan masih belum terbuka sepenuhnya. Merasa tak kuat lagi menahan kantuk, Marda pun menyerah. Ia menidurkan kepalanya di atas meja. Tertidur begitu pulas, hingga sebuah gebrakan keras berhasil membuatnya tersentak. Seketika, rasa pening memenuhi kepalanya.

Dikeluarkan dari kelas bukan lagi hal baru untuk Marda. Itu sudah seperti rutinitasnya selain terlambat masuk dan bolos pelajaran. Bagus, dirinya memang sangat mengantuk saat ini. Lagipula, kepalanya juga terasa pening. Jadi, dengan sedikit tergesa ia berlari menuju UKS.

✈ ✈ ✈ 

Gaska menghela nafas berat untuk kesekian kali. Ia memandang berat Bu Fika yang sedang menjelaskan seluk-beluk hukum terbentuk. Selain menggunakan kata yang terus diulang, wanita berumur kepala tiga itu memiliki suara seringan kapas yang bisa terbang kapan saja. Meskipun Gaskara menyadari jika suara Bu Fika dari menit ke menit semakin kecil, laki-laki itu tetap memperhatikan. Hanya sebatas pandangan, sebab pikirannya tengah melalang buana.

Gaska mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak tahan dengan perasaan ingin tahunya mengenai pesawat kertas itu. Sungguh, semalaman penuh ia tidak tidur hanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan siapa pemiliknya. Kemarin ia tak menemukan siapapun di rooftop. Gaskara sampai berkeliling dua kali hanya untuk memastikan disana benar-benar tak ada orang lain selain dirinya. Yang jelas, kemungkinan terbesar pemilik pesawat kertas itu adalah perempuan. Sebab tulisan tangannya begitu rapi. Tapi, bagaimana jika itu laki-laki? ARGHHH, Gaskara juga tidak tahu!

Deheman keras dari Bu Fika berhasil merenggut kembali kesadarannya. Gaska sedikit bingung mendapati hampir seluruh kelas menoleh kearahnya.

"Ayo, Gaskara!" Gaska menaikkan satu alis. Memandang penuh tanya kearah Bu Fika.

"Lo disuruh ke UKS ambil obat tenggorokan." Ferdi berbisik di sampingnya.

✈ ✈ ✈ 

Perempuan dengan bandana kuning itu meringkuk di pojok ruangan. Tiga laki-laki di depannya semakin tertawa melihat tubuhnya yang gemetar. Salah satu dari mereka menendang kursi di depannya hingga mengenai tubuh si perempuan. Rasa sakit mendera lengannya. Tetapi perempuan itu terlalu takut sampai tak bisa bersuara. Grasak-grusuk itu terdengar oleh laki-laki yang baru saja kembali dari merokok di belakang sekolah. Ia menghentikan langkah begitu sampai di depan gudang. Mengintip dari sela-sela pintu yang terbuka. Terdapat tiga anak laki-laki–para tukang rundung. Ia mengenal mereka.

Laki-laki itu terus menatap pergerakan ketiganya, sampai saat salah satu dari mereka akhirnya menarik paksa gadis yang meringkuk itu untuk berdiri. Gadis yang tengah menggingil ketakutan itu, gadis dengan bandana kuning itu, gadis yang mereka rundung itu, gadisnya!

"Binar!"

"Mati aja, cewek sialan!"

"–da!"

"Culun!"

"Nangis, aja! Lo, kan, bisanya cuma nangis! Cupu!"

"Ayo, nangis yang kenceng!"

"–da!"

"Mati lo hari ini!"

Bayangan tumpang tindih itu terus berputar selayaknya kaset rusak. Menampilkan adegan yang masih terasa baru tetapi begitu acak. Marda meringkuk di atas brankar. Tangannya terkepal, tubuhnya bergetar hebat, nafasnya putus-putus, matanya terpejam erat tetapi terus mengeluarkan air mata.

"–da!"

"Marda!"

Tepat setelah guncangan keras di bahunya, Marda membuka mata. Tanpa bisa ia cegah lagi, air matanya mengalir dengan deras. Rendi menarik tubuh rapuh itu kedalam pelukannya. Ia meletakkan dagunya di atas kepala Marda. Tangannya mengelus punggung Marda yang bergetar. Tanpa bertanya kenapa, apa, dan bagaimana, Rendi sudah tahu. Rendi sudah hafal.

Masih dengan isakannya, Marda mendongakkan kepala. Menatap lelah kearah Rendi. Rendi menggeleng. Laki-laki itu menyeka air mata Marda yang berlomba membasahi pipi. Melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Marda begitu histeris di dalam tidurnya, dada Rendi terasa sesak. Ia seolah ditarik kembali ke masa dimana mereka masih duduk di bangku tahun terakhir SMP. Masa-masa dimana dia berusaha mati-matian untuk menghidupkan kembali cahaya di mata Marda. Mengembalikan senyum itu. Menarik gadis itu keluar dari kegelapan. Dan pada akhirnya, Rendi memang berhasil membawa senyum itu kembali. Tetapi, Rendi tahu, itu bukan lagi senyum yang sama.

"Sakit,"

Marda menekan dadanya yang terasa sakit. Benar-benar sakit seolah ada pisau tak kasat mata yang menikam dadanya dalam-dalam. Rendi kembali mendekap Marda dengan erat. Segera menggenggam tangan Marda yang terasa dingin.

"Everything's gonna be alright. I'm promise," Rendi menipiskan bibir.

Mendengar bisikan Rendi, Marda lantas membalas dekapan laki-laki itu. Masih dengan air mata yang mengalir, ia kembali berujar lirih, "Gue kangen dia." dan Marda pun kembali terisak.

✈ ✈ ✈ 

Gaskara tidak heran begitu mendapati UKS sudah berisikan dua sejoli yang entah sedang melakukan apapun itu–disaat jam masih menunjukkan pukul sepuluh lewat. Yang jelas, ia tahu benar siapa keduanya. Tentu saja Si Bar-bar Marda dan pawangnya. Pasti keduanya bolos lagi.
Dan tanpa berniat menyapa atau mengganggu kegiatan keduanya, Gaska memasuki ruangan dan langsung menuju lemari obat. Tak sengaja, ekor matanya melirik kearah Marda yang berbaring lemas di atas brankar. Wajah gadis itu pucat sekali. Apa gadis itu sakit? matanya juga sembab dan terlihat seperti habis menangis. Kenapa?

Bersambung

Pesawat Kertas untuk MardaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang