Lembar Keempat

4.7K 168 6
                                    

"Ssut, ssut!"

"Cewek!"

"Kiw!"

Marda tetap memejamkan mata. Tak peduli seberapa keras suara mereka yang memanggilnya. Derap langkah terdengar cukup banyak dan semakin mendekat. Hingga mau tak mau, Marda pun bangun. Ia menghela nafas sepanjang mungkin. Oh Tuhan, gadis ini hanya butuh ketenangan! Dan yang menghampirinya malah bencana.

Ada empat laki-laki di seberang sana. Yang paling depan, yang mengenakan dasi abu-abu di lengannya itu berlari kecil menuju Marda. Ia kemudian menggeser kaki Marda dari atas kursi dan mengambil duduk disana. Para lelaki itu tak perlu heran dengan keberadaan Marda disini, di jam pelajaran begini.

"Pak Tamba seserem itu, ya?" laki-laki itu melirik geli kearah Marda yang mendengus kuat.

Tiga laki-laki lainnya mengambil duduk di bawah. Salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah kotak hitam, yang kemudian diambil isinya secara bergantian oleh kedua temannya. Marda menoleh kearah laki-laki di sampingnya yang menolak kotak rokok yang tersodor.

Kedua alis Marda menyatu, "Lo berhenti ngerokok?" ia akhirnya bersuara.

Menghembuskan asap pelan, "Rendi, mah, udah sebulan puasa, Mar." Jaki yang duduk di sebelah Diku–si pelaku penyodor rokok, menjawab. Marda mengernyit. Seingatnya, waktu SMP dulu, Rendi–laki-laki di sampingnya ini paling tidak bisa jauh-jauh dari barang beracun itu. Hampir setiap jam istirahat ia selalu menemani Rendi merokok di belakang sekolah.

Jaki tersenyum mengejek kearah Rendi, "Rendi yang sekarang, kan, anak Bunda!" laki-laki berambut ikal itu terkekeh. Rendi melotot. Ia meluruskan kakinya dengan keras yang langsung mengenai lutut Jaki. Jaki meringis. Ia mengelus pelan lutut kirinya. Sedangkan yang lain terkekeh kecil. Tak berniat menjawab pertanyaan Marda, Rendi malah menyodorkan lengan kanannya. Paham, tangan perempuan itu pun terangkat membukakan simpul dasi abu-abu yang terikat disana. Entah apa fungsinya.

Setengah jam pun berlalu dengan candaan-candaan ringan yang bergantian mereka lemparkan. Marda, tentu saja dia yang paling keras kalau soal tertawa.

"Mar-"

"Kantin, kuy! Lima menit lagi bel bunyi," laki-laki berbadan tinggi yang duduk di samping Jaki itu akhirnya buka suara. Ia menatap penuh semangat kearah jam tangan putih miliknya. Tanpa menunggu jawaban yang lain, ia berlalu. Tak kuat lagi dengan perutnya yang sudah dangdutan. Jaki menggeleng melihat kelakuan sepupunya itu yang selalu sat-set dengan segala hal yang berunsur makanan. Tapi tiba-tiba saja, ia merasa was-was ketika sepupunya itu berhenti tepat di depan pintu rooftop dan menyeringai menatap dirinya.

"Yang terakhir nyampe di kantin wajib neraktir!"

Belum sedetik suara itu menghilang, bunyi debukan keras menyusul. Jaki tersungkur. Ia terdiam linglung dengan tubuh tertelungkup. Ia menatap nanar punggung teman-temannya yang berebut menjauh.

Mengumpat, "WOI, CURANG ANYING!" Jaki lantas berteriak. Ia bangkit, lantas menarik kesal tali sepatunya yang terikat kuat di kaki meja. Entah kapan sepupu kurang ajarnya itu melakukannya. Dan entah bagaimana bisa ia tidak sadar.

Jaki pun menendang meja disampingnya sebagai pelampiasan. "Candra sialan!" umpatnya lagi.

✈ ✈ ✈ 

Dengan tawa yang tak bisa di redam, Candra berlari dengan perasaan kelewat senang. Di belakangnya, Marda dan Rendi ikut berlari kecil. Sedangkan Diku berjalan santai. Ketiganya sama-sama menggelengkan kepala. Tak habis fikir dengan tingkah kedua saudara itu.

Marda menarik sudut bibirnya ketika dari arah berlawanan ia kembali berpapasan dengan sang musuh bebuyutan.

"Candra memberi salam kepada Raja Matematika Bintara! Semoga ilmunya nyiprat dikit," Candra menghentikan larinya sejenak. Ia sedikit membungkuk saat mengucapkan salam ala-ala film kerajaan itu. Rendi terkekeh melihatnya. Sementara Marda, ia menjulurkan lidahnya mengejek seperti biasa ketika ia melewati laki-laki itu. Oh, tak lupa dengan jari tengahnya yang teracung bebas.

Pesawat Kertas untuk MardaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang