Lembar Kedelapan

3.1K 116 5
                                    

Banyak yang mengatakan kalau cinta pertama setiap anak perempuan di dunia ini adalah sosok Papa. Laki-laki yang membuat mereka tercipta. Tetapi, untuk sebagiannya lagi, Papa adalah patah hati pertama mereka. Kalau, menurutmu?

Rendi menghentikan laju motornya di depan rumah besar berpagar coklat itu. Perempuan yang berada di belakangnya lantas turun. Mengitari motornya dan berhenti di depan pagar. Merapikan rambutnya sejenak, lalu menatapnya lamat-lamat. Rendi menipiskan bibir, yang tentu saja tidak terlihat oleh Marda sebab terhalang helm full face miliknya. Laki-laki itu menaikkan sebelah tangan, memegang pundak Marda.

Setelah mendapati pesan singkat dari sang Papa, dengan berat hati, Marda tidak bisa ikut ke warung Deju. Menolak Rendi untuk mengantarnya pulang adalah hal yang sia-sia. Jadi, setelah dirinya pamit pada Diku, Jaki, dan Candra, Rendi dengan cekatan menyuruh Marda menaiki motor hitamnya.

Rendi menatap Marda dalam. Ia membuang nafas halus. "Gue nggak bohong soal hp gue nggak pernah mati," artinya, laki-laki itu memintanya untuk menelpon.

Marda menyunggingkan senyum, mengangguk dua kali. Rendi menepuk bahunya pelan, setelahnya, laki-laki itu menghidupkan motornya dan berlalu pergi. Cukup jauh motor itu menghilang dari pandangan, pun, senyum Marda berangsur hilang. Ia mengepalkan tangan, berbalik, menegakkan bahunya kemudian membuka pagar besar di depannya.

✈ ✈ ✈ 

Setelah membersihkan diri, Marda bersiap untuk turun ke lantai bawah. Adalah hal mutlak jika setiap Papanya datang–ralat, pulang, laki-laki itu akan menunggu Marda di ruang kerjanya.

Marda memainkan jari begitu sampai di depan pintu bercat putih gading itu. Ia mengatur nafasnya sendiri yang tiba-tiba memburu. Tangan kanannya terangkat mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Lalu memegang handle dan menekannya kebawah. Mendorong pintu itu sampai terlihat seorang laki-laki yang duduk memunggunginya. Marda menghela nafas halus. Memasuki ruangan dan menutup pintu lagi.

"Siapa, tadi?" suara berat itu mengudara.

Marda menerjemahkan dua kata itu dibenaknya. Siapa? tadi? oh, "Temen," jawabnya.

Pasti Pak Dimas–sopir yang biasa mengantar-jemput dirinya itu mengatakan pada sang Papa kalau hari ini ia akan pulang terlambat, tidak perlu dijemput. Jadi, Marda menyimpulkan kalau yang dimaksud Papanya adalah siapa yang mengantarnya pulang barusan, tak lain adalah Rendi.

"Temen?" suara berat itu terdengar lagi.

Marda memperhatikan kursi yang memunggunginya perlahan berputar. Menampilkan laki-laki paruh baya beralis tebal, bermata tajam, berahang kuat– Papanya. Marda dapat melihat mata tajam itu perlahan memincing.

"Yang suka bolos denganmu, itu?" gurat tidak suka terpancar jelas disana. Marda mengalihkan pandangan. Mencari objek lain untuk dilihat. Bibirnya terkatup rapat. Bukannya sedang menahan jawaban apapun, jawaban itu memang tidak ada. Sang Papa menegakkan punggung. Tidak bersandar lagi pada kursi kerjanya. Bunyi gesekan kertas membuat Marda kembali menaruh pandang pada Papanya. Tumpukan kertas memenuhi meja kerja di depannya. Yang ia tahu, itu dokumen penting perusahaan. Tetapi, yang dipegang oleh Papanya itu berbeda. Satu klip kertas itu berisi baris-baris angka yang beberapanya tertoreh garis merah. Sontak degup jantungnya bertalu-talu. Ia tahu itu apa.

Anggra menatap wajah putrinya yang memutih, berbanding terbalik dengan banyaknya warna merah pada kertas yang ia pegang. Ia mencengkram kertas itu sebagai pelampiasan atas api kemarahan yang berkobar di dadanya.

"Perbaiki ini sebelum kenaikan kelas, atau, pindah jurusan!" sentakan itu akhirnya keluar. Bersamaan tangannya yang menggeser kertas itu kedepan, menunjukkan pada Marda. Marda merasa buruk dengan bergetar di depan Papanya. Orang tuanya sendiri. Tetapi, ia tidak bisa menahan gemetar itu ketika mendengar bentakan sang Papa. Terbiasa bagaimanapun, tubuhnya tetap saja bergetar takut.

Pesawat Kertas untuk MardaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang