Ada yang lebih mahal daripada berlian.
Lebih berharga ketimbang sebuah janji.
Lebih berarti daripada seluruh isi bumi.
Itu, keluarga.✈ ✈ ✈
Akhirnya, setelah perjalanan yang cukup membosankan, gadis itu sampai juga di sekolahnya. Dengan rok yang panjangnya selutut dan seragam atas yang tak sempat ia rapikan, gadis itu berjalan dengan santai menyusuri lorong sekolah yang panjang. Choker hitam berbandul petir melingkar indah di leher jenjang gadis itu. Bibir mungilnya tak henti mengunyah. Bulu mata lentiknya mengerjab, seiring dengan alis berbentuk bintang jatuh yang menghiasi wajah manisnya menukik tajam.
Kenapa koridor pagi ini sangat sepi? well, bagaimana tidak sepi? kegiatan belajar-mengajar saja telah dilakukan sedari belasan menit yang lalu.Gadis itu memelankan langkahnya ketika sampai di lorong mading. Hingga kakinya benar-benar berhenti tepat di depan mading utama. Ia menatap puluhan artikel yang terpajang di mading berukuran paling besar itu dan seketika bola matanya berputar malas. Ia mencebik, menatap wajah menyebalkan milik sang musuh bebuyutan, sangat jelas, di artikel utama sekolah. Sekelebat ide cemerlang pun muncul di kepala gadis itu tanpa diminta. Bibirnya tersungging miring. Ia cekikikan, lantas membuka mulutnya lebar-lebar. Diambilnya permen karet rasa stroberi itu dari mulutnya. Gadis itu kemudian menempelkannya tepat di gambar wajah sang musuh.
Ini namanya Saput. Gaskara Adi Saputra. Cowok paling angkuh yang pernah gue kenal. Dia narsis, freak, jelmaan iblis. Pokoknya, ngeselin, deh!
Lagi, gadis itu terkikik senang. Setelahnya, ia ingin segera berlalu ke kelas. Sebelum–
"MARDAAA!!"
Kan.
✈ ✈ ✈
Gadis dengan peluh dimana-mana itu menghela nafas cukup panjang. Wajah lelahnya tampak kontras dengan senyum di bibirnya yang sedari tadi merekah-ruah. Rupanya, Pak Rudi benar-benar tak main-main dengan 'hukuman jika terlambat lagi' yang dibilangnya kemarin. Gadis itu mengira jika Pak Rudi hanya menggertaknya saja. Ia sebenarnya juga sudah mulai bosan dengan hukuman lari seperti kemarin-kemarin. Tapi ternyata, hukuman hari ini berbeda–untuk pertama kali–dan gadis itu lah yang pertama mencoba. Keren, bukan?
"Marda!" Pak Rudi bertolak pinggang.
Gadis itu menegakkan punggung. Menoleh kearah Pak Rudi yang berjalan dengan angkuh kearahnya. Pria paruh baya itu terlihat puas melihat kondisi muridnya yang mandi keringat. Bayangkan saja, siswi tahun kedua itu harus mengecat gapura sekolah dengan kuas lukis. KUAS LUKIS! Iya, kuas dengan ujung kecil nan lancip itu.
"Iya, Pak?" si gadis menjawab dengan kalem. Tak lupa ia juga memasang senyum terbaiknya. Meski sinar matahari terasa membakar kulit, ia tetap berdiri di depan gapura dengan tegak. Hanya perlu mengecatnya, kan. Hey, sekolahnya ini benar-benar recomended, tau? Ia tak hanya dibekali ilmu pengetahuan saja, tetapi juga praktik lapangan menjadi kuli. Lumayan, loh. Mungkin nanti setelah lulus ia bisa langsung menekuni profesi itu.
Pak Rudi melepas kaca matanya. Mengurut pelan pangkal hidungnya. Lagi-lagi ia salah. Ia tidak tau harus melakukan apa pada salah satu murid favoritnya itu. Ia kira, gadis itu akan kabur dari hukuman yang ia berikan seperti biasa. Jadi, dengan iseng saja Kepala Sekolah itu memberikan hukuman ini. Tapi, lihatlah, gadis itu bahkan hampir menyelesaikan separuh dari tulisan SMA BINTARA pada gapura besar di depannya.
"Sudah, ya, Mar. Bapak sudah capek pol sama kamu. Pokoknya, hari ini adalah hari terakhir kamu terlambat. Kalau sampai besok kamu terlambat lagi, saya jamin, kamu nggak akan naik kelas," finalnya.
Secara spontan, gadis yang ia panggil Marda itu melotot kearahnya.
"Tidak ada protes. Kalau mau protes, tuh, protes ke gapura!" putus Pak Rudi cepat-cepat sembari menuding gapura di depan Marda. Tak ingin panas-pansan lebih lama, lelaki paruh baya itu pun memutuskan berlalu meninggalkan Marda.
"Pak Kunto, tolong, lima belas menit lagi suruh bocah tengil itu masuk ke kelas, ya. Makin panas, takut nanti semaput disitu," Pak Rudi melirik Marda di depan sana yang masih melotot memandang dirinya. Tak ingin kalah, ia pun menjulurkan lidahnya mengejek, yang semakin membuat Marda melotot-tot-tot.
"Baik, Pak!" Satpam sekolah itu hanya bisa menahan tawa melihat interaksi antara Pak Rudi dan Marda.
✈ ✈ ✈
Dentingan sendok mengisi keheningan di ruang makan malam ini. Dengan seksama, Adi memperhatikan putranya yang sedang mengaduk makanannya di piring. Rike, sang istri, juga ikut memperhatikan tingkah anaknya yang tidak biasa itu.
"Gaskara, makanannya di makan dong, Sayang. Jangan dimainin," tegur Rike.
Gaska yang semula melamun pun membenarkan duduknya dan mulai menyendoki makanannya. Adi meneguk segelas air, kemudian berdehem halus.
"Suntuk banget muka kamu. Ada masalah apa?" Adi bertanya, melirik sejenak kearah sang putra. Gaska menjawab pertanyaan Papanya dengan gelengan penuh.
"Gimana kabarnya cewek Mama? sehat, kan?" tanya Rike dari arah dapur. Gaska lantas menelan makanannya dengan susah-susah. Laki-laki itu kemudian meneguk air dari gelasnya dengan cepat.
Marda. Orang yang dimaksud Mama itu Marda. Cewek songong, biang onar, petakilan, nyebelin. Iya, itu Marda. Cewek yang nggak ada sisi baiknya dari segi manapun di mata gue.
Secara tidak sadar, Gaska meremas kuat sendok yang berada di genggamannya. Ia mengutuk Marda di dalam kepala. Menurutnya, gadis itu lebih dari sekedar menyebalkan. Mengingat gambar wajahnya di mading sekolah yang ditempeli permen karet oleh gadis itu, Gaskara semakin ingin mematahkan sendoknya. Ralat, mematahkan leher Marda.
"Papa bisa nggak minta Pak Rudi buat keluarin dia dari sekolah?" Gaska bertanya dengan tiba-tiba. Mood makannya sudah hilang.
Menanggapi pertanyaan nyeleneh dari putranya itu, spontan saja Adi tersedak. Sedangkan Rike terkikik keras.
✈ ✈ ✈
Di lain rumah, seorang gadis tengah duduk di kursinya dengan diam. Senyum getir terpatri di wajahnya. Sebenarnya, dadanya terasa sesak saat ini. Tetapi, seorang preman sekolah seperti dirinya tidak akan membuang air mata hanya karena menatap kursi-kursi kosong yang mengitari meja makan besar di rumah ini, kan. Ia hanya harus makan malam sendirian. Lagi.
Gadis itu mulai menyendoki makanannya. Tak ada suara lain selain dentingan sendok yang beradu dengan piring. Gadis itu makan dengan cepat. Ia enggan berlama-lama di ruangan ini. Setiap suapan, bukan kenyang yang gadis itu dapatkan. Melainkan rasa kosong yang semakin lama semakin membuat lubang besar di dadanya. Gadis itu akhirnya beranjak. Ia menyudahi makan malamnya meski baru beberapa suap. Sesampainya di kamarnya yang terletak di lantai atas, gadis itu langsung melangkahkan kaki menuju balkon dan mendudukkan diri di kursi. Menatap langit malam dengan mata berembun.
Bagus. Gadis itu ingin tertawa dengan keras. Lucu hidupnya. Tembok pertahanannya terlihat begitu kokoh, tinggi, dan keras. Tanpa bisa orang-orang tebak, dia yang sebenarnya.. bukan apa-apa.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesawat Kertas untuk Marda
Teen Fiction[JANGAN MAMPIR! LAGI REVISI GEDE-GEDEAN] Si gadis bandana kuning itu, hari ini, ia tampak berbeda. Tak ada lagi bandana yang menghiasi kepalanya. Senyum di bibir manisnya yang setiap pagi nampak merekah hilang entah kemana. Ia yang dikenal sebagai m...