Her

4.1K 583 52
                                    

Suara gemeletuk peralatan makan terdengar kontras di tengah keheningan seorang yang hanya menghabiskan sarapannya sendiri di ruang makan. Tak ada seorang pun yang bisa diajaknya untuk sekedar mengobrol atau bercanda. Setiap hari rutinitasnya hanya pergi sarapan, berangkat bekerja, pulang lalu tidur. Semuanya tidak ada bedanya seperti ketika ia menjadi pria lajang. Menjadi suami untuk Sehyun pun masih terasa sama sewaktu ia sendiri tanpa wanita itu. Hanya saja jika kedua orang tuanya atau mertuanya datang kemari maka ia akan lebih banyak basa-basi atau membuat kebohongan manis untuk dirinya sendiri.

Menelan makanannya dengan susah payah. Lagi-lagi Sehyun hanya makan di kamarnya—sendiri. Tenggorokannya terasa kering dan sedikit sakit akhir-akhir ini. Perasaannya kadang tak lebuih baik dari ini atau bahkan terkadang lebih buruk dari ini. Ia bersyukur kondisi rumah menjadi kondusif kembali. Sehyun bisa kembali menguasai tempat tidurnya seorang diri—tanpa Namjoon.

Menghindari pria itu? Ya, jelas itu alasannya. Masih membenci Namjoon?

Untuk itu, entahlah. Sejauh ini pria itu tak melakukan apa yang ia tak suka.

Cahaya matahari membuat seisi kamarnya kian terang. Penampakan pagi hari di luar sana tampak menenangkan sepertinya. Sehyun meminum susunya hingga tandas tak bersisa kemudian, setelahnya ia berjalan keluar—tepatnya di ruang yang sama di mana Sehyun meletakkan piring kotor ke bak cucian. Namun bukan untuk membersihkan peralatan makannya. Ia hanya sekedar basa-basi, menengok apakah suaminya sudah berangkat bekerja atau belum.

Jarang terjadi interaksi di antara keduanya. Itulah yang mereka alami saat ini.

Menyadari kehadiran Sehyun, Namjoon sedikit salah tingkah. Bak kencan pertama, jika kau ingin bertemu dengannya maka berdandanlah serapi mungkin.

Sementara Sehyun masih mencuci piring membelakangi Namjoon, pria itu merapikan sendiri bajunya dan juga tatanan rambutnya sedikit. Ia mengambil tisu untuk membersihkan bibirnya sendiri dari makanan yang bahkan ia belum habiskan.

Namjoon merasa ia tidak bisa berdiam diri mengikuti alur permainan Sehyun. Ia menikahi Sehyun bukan semata-mata karena aib wanita itu. Tapi karena masih ada cinta. Bukankah dengan statusnya yang sekarang berarti Namjoon menjadi kepala keluarga? Berarti juga Sehyun yang harus menurut padanya.

Dengan sigap Namjoon berdiri, niatnya yang ingin menaruh piring kotor di bak cucian membuatnya menghampiri Sehyun lebih dekat. Sangat dekat hingga posisinya berada tepat di belakang wanita itu. Bahkan ia sendiri merasakan jika wanitanya tersentak kaget sesaat.

Dadanya menyentuh punggung Sehyun. Wanita itu berhenti melakukan aktifitasnya barang sejenak sebelum akhirnya ia berbalik dengan cepat menghindari Namjoon. Seperti seorang wanita yang ketakutan sekaligus marah.

Tanpa banyak bicara Sehyun dengan kepalanya yang masih menunduk lekas melangkah kembali ke dalam kamarnya.

Tapi tidak secepat itu, sampai Namjoon berhasil mencegahnya. "Kau tidak beranggapan aku kurang ajar 'kan?" Tanya Namjoon dengan lembutnya.

Sehyun melirik pergelangan tangannya. Ia diam hendak membalas dengan bibir terbuka. Namun, ia tahan. Wanita itu lebih memilih melepaskan ikatan tangan Namjoon dan kembali masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Hanya mengamati dari bawah sampai punggung Sehyun tak lagi terlihat. Namjoon menghela napasnya. Tentu saja, ia masih menjadi alasan kebencian Sehyun. Wajar jika wanita itu terus menghindarinya.

***

Mencari pekerjaan benar-benar sulit. Sekali pun kau berada di negara maju. Memang ia tak mendapat catatan buruk. Tapi berkat itu ia didepak dari universitasnya dan juga dari rumah. Tak bisa menyelesaikan pendidikannya dengan baik bahkan tidak ada bantuan dari orang tuanya, membuat Jungkook bernasib sial. Sesial-sialnya.

KLONTANG!

Kakinya menendang kaleng kosong hingga benda itu membentur dinding.

Bak pengangguran. Jungkook bingung, bagaimana ia bisa mendapatkan pekerjaan dan uang untuk membayar kontrakannya, membayar biaya air, listrik dan membeli makan.

Perutnya berbunyi seketika.

"Sial!" Umpatnya.

Jungkook merogoh saku celananya, ia hanya mendapatkan kartu identitas di dalam dompet. Pria itu kembali mengumpat, bahkan kali ini ia seperti ingin menangis. "Oh, ayolah! Aku hanya ingin makan mie instan!" Ucapnya sembari merogoh saku outernya. Dan pada akhirnya ia mendapatkan sesuatu dari dalam sana.

Jungkook mendengus. "Hampir saja aku mati kelaparan."

***

Kakinya melangkah menghampiri minimarket terdekat. Tangannya mendorong pintu masuk, lalu melenggang ke dalam sana. Ia rasa hanya sampai sini saja kemampuan kedua tungkainya hari ini.

Tak dapat mengambil makanan apapun yang ia mau, Jungkook hanya mampu membayar untuk satu cup mie instan bersama dengan sebotol soda di tangannya. Termos di dalam mini market yang berisikan air panas semakin memudahkannya melunakkan makanan instan dalam cup itu.

Sembari menunggu mie instannya siap, kedua matanya menelisik keadaan luar. Hari ini Jungkook hanya mampu membeli dua makanan murahan. Ya, mau tidak mau sebab ia belum siap mati. Udara di luar lumayan terik, sepertinya lebih enak makan di dalam minimarket ber-AC ini jika di dalam sini juga di sediakan kursi. Namun Jungkook memilih untuk makan di luar seraya duduk santai, sembari memikirkan menu makan malamnya.

Masih berada di daerah yang tak jauh dari rumah kontrakannya, Jungkook makan dengan tenang. Melihat situasi sekitar yang sepertinya tidak menunjukkan hal yang mampu menarik perhatiannya.

Sumpitnya mengaduk mie di dalam cup. Rautnya memerah, mulutnya yang penuh terus mengunyah diiringi dengan suara desisan sesekali. Jungkook kembali menyuapi dirinya sendiri setelah rongga mulutnya kembali kosong. Dalam benaknya ia tahu, ia bisa saja sakit perut setelah memakan makanan pedas seperti ini.

Tapi kembali lagi. Siapa yang akan peduli?

Orang tuanya saja mampu mendepaknya dari rumah. Mereka tak lagi sepeduli itu, apalagi orang asing?

Ia bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan cup mie instan kosong di atas meja. Kakinya berjalan menyusuri trotoar. Jungkook meninum sisa sodanya hingga tanda sembari berjalan. Sebentar lagi sore, lalu menjelang malam, kemudian pagi.  Sampai kapan ia jadi pengangguran seperti ini?

Sampai besok?
Sampai besok lagi?
Atau besoknya lagi?

Baru kali ini ia merasa takut dan bingung kala kehidupannya tidak terjamin. Merasa berusaha sendiri dan kesusahan sendiri. Ia tidak bisa hidup jadi seorang gelandangan.

Kakinya terus melangkah, mungkin sampai rumah nanti ia tak yakin bisa tidur nyenyak. Ia beralih melihat lurus kedepan. Beberapa orang melewati jalan yang sama seperti dirinya; berpapasan, bertatap muka dalam sekejap. Banyak orang yang tertangkap oleh netranya.

Namun hanya satu.

Yang membuat Jungkook sesaat berhenti melangkah.

Dari jarak yang cukup dekat. Begitu jelas tanpa ragu Jungkook mengklaim di sana berdiri seorang wanita yang begitu ia kenal. Sangat cantik dengan rambut yang tergerai meskipun tubuhnya sama sekali tak terlihat ramping.

"S-sehyun?" Gumamnya seraya alisnya mengernyit heran.

Semakin lama wanita itu semakin melangkah mendekat, memasuki gedung apartemen yang sama ketika ia bertemu dengan Namjoon kemarin.

Apa terjadi sesuatu yang tak ia ketahui selama ia jauh dari Sehyun?

***


Luv,
starbookdialy.

STUPID || JJK || KNJ ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang