Lari #1

753 28 0
                                    

Kami dekat.
Kami pernah lebih dari sekedar dekat.
Kedekatan kami tidak biasa.
Kedekatan kami membawaku menjadi gadis paling bodoh di muka bumi.
Kedekatan ini rupanya semu belaka, karena akhirnya dia datang mengetuk rumahku dan meminang saudari kembarku.

--

"Kamu kenapa lagi?"
"Aku baik-baik aja kok."
"Ya udah kalau nggak mau cerita. Jangan lupa nanti jam 3 jemput sepupu boss di bandara ya."
"Iya."
"Kalau ganteng bilang ya."
"Ya udah, jemput aja sendiri."
"Kan boss percaya sama kamu."
"Ya."

Waktu sudah menjelang pukul 3 sore, segera ku telpon sopir kantor untuk mengantarku menuju bandara dan menjemput tamu, salah, sepupu boss. Perjalanan sudah mencapai gerbang tiket masuk mobil dan ponselku bergetar.

Selamat sore.
Saya Adrian. Sepupu Mr. Trevor. Semoga anda tidak keberatan menjemput saya.
Terima kasih.

Serta merta, ku angkat telpon untuk memanggil nomor pria bernama Adria tersebut. Kami berjanji akan bertemu di gate 7 dekat dengan tenant makanan cepat saji. Setelah aku keluar dari mobil dan memutar kepala ku 180 derajat, ada seorang yang menyentuh pundakku.

"Ms. Vernon?"
"Yes. Anda Mr. Adrian...?"
"Yeah, that's me."
"Kalau begitu mari, berikan luggage anda pada sopir kami."

Mobil berjalan membelah jalanan yang sedikit diguyur gemericik hujan. Mr. Adrian meminta agar aku mengantarkannya langsung menuju apartemen miliknya.
"Maaf saya tidak mengira anda akan stay cukup lama."
"No problem. Lagipula perubahan rencana ini juga mendadak. Boleh aku meminta nomor ponselmu?"
"Untuk?"
"Aku bukan penguntit, jika itu yang kau khawatirkan."
"Oh bukan begitu maksudku." Kemudian kami pun bertukar nomor.

Apartemen yang dia miliki cukup besar dan sanggup menampung setidaknya 5 orang untuk tinggal di dalamnya. Warna yang dominan biru tosca membuatku sedikit terpana, maksudku warnanya sangat bagus dan dia tipikal pria yang memiliki selera fashion yang cukup bagus.

"Aku akan menghubungimu jika aku butuh sesuatu."
"Maaf?"
"Tidak perlu minta maaf. Apakah sepupuku tidak mengatakan apapun?"
"Mungkin beliau belum sempat."
"Well, sebaiknya ku perjelas. Selama aku disini, kau adalah sekretaris sekaligus asisten pribadiku."
"Lalu pekerjaan saya sebelumnya bagaimana?"
"Dia akan mengurusnya. Sebaiknya kau pulang dan besok kau sudah harus disini pukul 8 pagi."
--

Hariku tidak begitu buruk tapi saat sampai di rumah, aku menjadi kesal saat harus berpapasan dengan mantan pacarku, Fero, yang menikah dengan saudara kembarku, Inez. Dia sudah hamil 2 minggu saat lamaran itu datang, hingga akhirnya aku tahu bahwa memang benar bahwa mantan pacarku lah pelakunya, tragis bukan?

"Ku dengar kau diminta untuk menjemput Adrian? Apakah dia masih menyebalkan?"
"Maaf, itu bukan urusanmu."
"Eli, kau baik-baik saja?"
"Sudahlah Fero. Apakah kau tidak lihat wajah Inez sudah hampir terbakar cemburu?" Aku pun meninggalkan mereka.

Keesokan paginya, aku membawa bekal sarapan sandwich yang berisi tuna cincang, telur goreng, selada air, dan mayonaise. Kemudian, ponselku bergetar menandakan bahwa sopir kantor telah tiba di depan pintu rumahku.
"Eli, kau tidak sarapan dulu?" Teriak mama. Kemudian ku perlihatkan bekal sandwich dan jus jambu biji.

Sepanjang perjalanan aku melihat begitu banyak orang yang masih menggunakan jersey untuk olahraga pagi, sedangkan aku sudah menggunakan setelan kantor, miris memang. Tapi ya sudahlah, ini hidupku, jika tidak begini aku tidak akan makan. Mobil telah diparkir di basement dan kini aku berjalan menuju lift.
"Eli." Rupanya Mr. Adrian
"Yes, Sir."
"Kau sudah datang?"
"Ya, Sir. 15 menit lagi seharusnya aku sudah mengetuk pintu penthouse anda."
"Kau orang yang tepat waktu. Aku suka itu."
"Terima kasih Sir."
"Ku harap kau belum sarapan."
"Saya sudah membawanya, Sir."
"Kalau begitu berikan padaku." Dalam hitungan detik, kotak bekalku sudah berpindah ke tangannya. Dan sandwich ku habis, begitu pun dengan jus jambu biji. Really, aku tidak pernah menyangka apa maksudnya ini.

"Duduklah. Aku akan buatkan sarapan."
"Tidak perlu Sir."
"Menu sarapan mu terlalu sederhana, gizi yang kau butuhkan lebih dari dua potong sandwich dan jus."
"Sungguh, Sir. Itu tidak perlu." Dia justru mendorong tubuhku dari belakang dan menyuruhku memasuki sebuah pintu.
"Aku yakin selera mu bagus, jadi jika kau tidak ingin duduk, kau bisa carikan pakaian untuk ku pakai pagi ini."
--

"Jangan memanggilku dengan sebutan Sir. Aku bahkan hanya lebih tua 6 tahun dari mu."
"Anda tahu usia saya?"
"Tentu saja, aku menyeleksi dari sekian banyak karyawan yang diperbolehkan untuk menjadi asistenku. Aku memilihmu. Kau... Cukup cerdas dan cekatan, seleramu bagus, tidak banyak basa-basi. Oh aku juga suka motto mu."
"Katakan yang tak ingin dilakukan dan lakukan tanpa perlu dikatakan."
"Yeah itu. Kau sungguh pendiam kan?"
"Not really Sir."
"Adrian saja. Ayo berteman." Dia menarik tanganku untuk berjabat tangan layaknya sebuah perkenalan.

Selanjutnya agak canggung memang, tapi dia sepertinya biasa saja saat bersamaku, dia menyebutkan semua jadwalnya seharian ini dan dia memberiku sebuah ponsel yang sudah diisi dengan nomor khusus untuk provide seluruh client nya. "Ponsel ini adalah satu-satunya nomor yang akan dihubungi oleh client kita, aku ingin kau yang menyimpannya. Dan aku akan memberimu nomor ponsel pribadiku."
"Baik, Sir."
"Jika kita hanya berdua, panggil saja Adrian. Kecuali kau ingin ku gantung di cubicle toilet."
"Tidak masuk akal Sir..Adrian maksud ku."
"Good."
--

Aku melihat tabunganku yang sudah cukup untuk membeli apartemen sederhana, aku akan pindah dan menjauh dari lingkungan rumah yang tidak sehat. Gajiku selama dua bulan terakhir ini hampir 2x lipat dari gaji sebelumnya, mungkin karena aku sudah menjadi asisten pribadi sekaligus sekretaris Adrian.

"Kau jadi pindah?"
"Ehm.. keputusanku sudah bulat. Aku bahkan sudah menentukan di sebelah mana apartemen yang akan ku beli."
"Sudah bilang sama keluarga?"
"Belum. Besok pagi aja."
--

Tidak Terduga (The Red Line) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang