Epilogue

294 11 0
                                    

Adrian secara sah sudah terpilih sebagai salah satu Senator yang akan duduk dalam Kongres, dengan catatan dia akan berkesempatan untuk berubah menjadi influencer.

Hal tersebut tentu membuatnya menjadi sebagai gerbang terbuka untuk didekati dan dilewati oleh banyak pihak yang memiliki kepentingan. Kondisi makin mengkhawatirkan saat beberapa pihak mulai melakukan penekanan secara bertahap dan halus. Jenis permainan yang paling Adrian benci, halus dan menusuk.

"Bagaimana kabarmu, Adrian?"
"Aku terkejut Ayah menanyakan kabarku. Apakah Ayah ingin menawarkan solusi lagi?"
"Jika kau mau dengar."
"Apa imbalan yang Ayah inginkan?"
"Sebuah permainan kecil untuk memperjelas masa depan. Setelahnya, akan kuserahkan semua milikku padamu dengan tangan terbuka."
"Terbuka atau tidak, bukan urusanku."

"Kau memang mirip ibumu. Kapan terakhir kali kau mengunjunginya?"
"Tidak perlu berpura-pura simpati."
"Ibumu adalah wanita terhebat yang kutemui, dia yang paling bisa memahamiku saat semua orang berpaling."

"Kembali ke topik. Apa yang ingin Ayah bicarakan?"
"Masa depan mu dan anak-anak."
Adrian mengernyit heran sekaligus ngeri, di usianya yang tak lagi muda, Ayah Adrian masih mampu memberikan aura intimidasi dan kekejaman, kecuali Jules yang sepertinya kebal.

"Jelaskan Ayah, aku tidak paham."
"Aku akan memberikan perlindungan pada keluargamu sepenuhnya, termasuk dari pihak-pihak yang menitipkan kepentingannya padamu."
"Bagaimana Ayah akan melindungiku? Sedangkan aku berada di jalan yang telah Ayah pilihkan untuk ku lalui sendirian."
"Ayah selalu bersamamu." Adrian tertawa mengejek atas jawaban Ayahnya.
.
.
.
"Jadi, apakah tawaranku menarik, Adrian?"
"Tertarik sih iya, tapi ujungnya anak-anakku juga yang jadi korban. Bagaimana seandainya salah satu dari mereka tidak ada yang mau, apakah Ayah akan membuang mereka sepertiku?"
"Pertama, aku tidak membuangmu, kau sendiri yang tidak mau membantah hanya melarikan diri. Kedua, semua kembali ke jalan masing-masing, lagipula mereka masih punya waktu untuk menentukan masa depan."
"Akan aku bicarakan dulu dengan Eli."
"Ayah sudah bicara padanya, dia setuju."
"What??? Ayah membacakan mantra bab berapa padanya?"
"Anggap saja, kami berbaikan."
"Ok, sementara aku percaya."
"Ayah akan berkunjung saat weekend, pada jam makan siang. Kuharap jadwalmu kosong."
"Tentu."
.
.
.
Seperti yang dijanjikan, Ayah Adrian datang ke rumah dan membawa banyak hadiah untuk ketiga cucunya. Tentu saja ketiganya sangat senang, sekalipun hanya Damian yang paham apa isi kotak hadiah tersebut.
"Ayah, apakah kita bisa bicara?"
"Nanti setelah ini."
"Soal Damian, apakah...?"
"Akan ada waktunya Damian tahu. Saat ini biarkan begini, Fero sudah dibekukan, kau tidak perlu khawatir."

Kata 'dibekukan' justru mengundang kecurigaan Adrian yang berlebihan. Secara pribadi, Adrian tidak membencinya, kecuali menyangkut Eli dan Damian.

Diatas permadani berbulu, ayah Adrian mengeluarkan 3 benda sederhana, yaitu sapu tangan, pion catur, dan koin 1 sen. Dia pun meminta agar anak-anak duduk disana dan membiarkannya begitu saja, setidaknya memastikan tak ada hal konyol seperti memasukkan koin dalam mulut mungil mereka.

Dan seperti yang sudah diduga, Jules menjadi yang pertama mengambil koin dan hampir memasukkan dalam mulutnya. Sedangkan Damian mengambil sapu tangan dan mengibaskannya, terakhir Ian mengambil pion dan melemparkannya sembarang arah, mengejarnya, memegang pio tersebut, dan membuangnya lagi.

"Seperti janjiku, aku akan menepatinya. Tapi kau juga harus menepati janji mu."
"Aku tidak berjanji apapun, Ayah."
"Dengan memperbolehkan aku memainkan permainan ini pada mereka, seharusnya kau sadar bahwa aku hanya ingin menguji keinginan mereka serta menebak masa depan mereka."
"Jangan katakan, Ayah akan menjadikan Jules sebagai pewaris perusahaan?"
"Kau cerdas Adrian. Begitupun Ian, sepertinya dia berminat menjadi politisi sepertimu saat ini. Dan Damian, dia akan menjadi kepala keluarga sekaligus pelindung bagi adik-adiknya kelak."
"Dia hanya mengambil sapu tangan, Ayah."
"Ya kan tidak mungkin aku membawa selimut dan meminta salah satu anakmu untuk mengangkatnya."

Seolah masa depan telah di depan mata, Adrian menghela nafas berat saat Ayahnya yang sudah tua itu rupanya masih menanamkan ambisi pada ketiga cucunya.
"Ayah, jika suatu saat Fero datang, kuharap Ayah tidak ikut campur."
"Dia tak akan datang, kecuali kau sudah meninggal."
"Ayah mengataiku sekarang?"
"Tidak. Hanya membuatmu lebih waspada. Okey, tugasku selesai,.sekarang aku mau pulang."
.
.
.
TheEnd_

Tidak Terduga (The Red Line) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang