Chapter 1

422 29 8
                                    

Burung-burung berkicau membuat irama. Semilir angin bertiup pelan. Matahari muncul perlahan dari cakrawala. Cahayanya menyiram lembut desa kecil kami.

Aku berjalan pelan menyusuri jalan berbatu. Rerumahan berbaris rapi di tepi jalan. Cahaya matahari berusaha masuk melalui celah-celah dedaunan. Para penduduk yang khas dengan telinga panjang dan runcingnya tampak sibuk dengan pekerjaan mereka. Desa kecil yang kami tinggali hanya sebagian kecil dari dunia peri yang membentang luas.

Salah seorang wanita tampak mengayun-ayunkan tangannya ke sana kemari. Seketika, air dari sumur di dekatnya terangkat ke atas, mengisi satu persatu ember yang ada. Penduduk lain, seorang pria tampak mengerahkan telapak tangannya ke kumpulan ranting-ranting. Seketika, api berhembus keluar dari telapak tangannya, membakar ranting-ranting tersebut.

Kakiku terus melangkah. Jalan berbatu mulai tergantikan oleh rerumputan. Rerumahan penduduk mulai menghilang, digantikan pepohonan rindang. Beberapa menit, aku menghentikan kaki pada sebuah rumah tua yang terlihat reyot. Ukurannya sangat kecil, halamannya pun tak seberapa. Kayu-kayu tertancap di atas tanah, mengelilingi rumah bagaikan sebuah pagar.

Tidak ada rumah lain di sini. Memangnya siapa yang mau membangun rumah di antara gelapnya hutan? Selain keluargaku?

Aku melanjutkan langkah, berjalan masuk menuju halaman. Bola mataku yang berwarna merah gelap bak darah, dengan iris mata lurus memanjang, bergerak ke sana kemari, memeriksa keadaan sekitar. Sepertinya Ayahku sedang pergi.

Tanpa pikir lagi, aku mulai meletakkan ranting-ranting pepohonan yang sejak tadi menetap di pangkuan tangan, menyusunnya sedemikian rupa. Aku mengerahkan telapak tanganku, menutup mata, mulai berkonsentrasi penuh. Rasa panas yang semu mulai terasa di telapak tanganku.

Apa aku berhasil?

Aku membuka mata, berharap dengan penuh keyakinan. Tidak ada apapun yang terjadi. Aku tidak bisa melakukannya. Aku gagal lagi.

"Ada apa, Nak?"

Pertanyaan tersebut terdengar di gendang telingaku. Seorang pria tua—Ayahku—terlihat berjalan mendekat.

"Tak apa. Kau bisa berlatih lagi," lanjutnya. Tangannya mengusap lembut kepalaku. "Lagipula, kau masih kecil, bukan? Itu adalah hal wa-"

"Aku bukan anak kecil, Ayah! Berhenti memperlakukanku seperti seorang anak kecil!" Aku berteriak marah, tidak terima dengan ucapannya.

Apanya yang kecil? Aku sudah berumur lima belas tahun. Di umur tersebut, seharusnya aku sudah dapat mengendalikan elemen, barang hanya satu. Tapi, aku sungguh tidak bisa melakukannya. Aku benar-benar lemah.

Ayahku menghembuskan napas berat. "Baiklah, Ayah minta maaf."

Aku yang masih marah hanya terdiam, terpaku di tempatku. Ayah kemudian berjalan mendekat. Ia terlihat mulai berkonsentrasi. Sedetik kemudian, kumpulan ranting yang telah kususun itu terbakar oleh kobaran api.

Ia kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkanku seorang. Tak lama, ia kembali dengan membawa beberapa buah jagung di tangannya. Ia mulai menusukkan jagung-jagung tersebut pada sebuah lidi, kemudian membakarnya di atas api.

"Selagi menunggu jagung-jagung ini matang, ayo kita berlatih!" ucap Ayahku penuh semangat, berusaha menghibur.

Aku menganggukkan kepala. Tanpa disuruh, Ayah mulai mempraktikkan bagaimana tata cara mengendalikan elemen. Ia mengayunkan tangannya, membuat sebagian kobaran api dari ranting-ranting yang terbakar melayang-layang di udara, bergerak mengikuti ayunan tangannya.

Aku mencoba untuk mengikuti gerakannya. Tanganku mengayun ke sana kemari, berharap ada setitik api yang bergerak mengikuti. Tak ada yang terjadi. Aku benar-benar tidak bisa melakukannya.

DuorbisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang