Chapter 16

74 12 10
                                    

Matahari perlahan-lahan mulai tampak di garis cakrawala. Hari masih sangat pagi. Aku melangkahkan kaki, berniat untuk keluar dari ruang bawah tanah ini. Yang lainnya masih tertidur pulas, berbeda denganku yang tidak bisa tenang di sepanjang malam.

"Kau mau ke mana?" Gellius bertanya tiba-tiba. Ia baru saja terbangun dari tidurnya.

"Mencari Miya." Aku menjawab singkat, tanpa menghentikan langkah kakiku.

"Mencari ke mana? Kita tidak tahu di mana ia berada sekarang."

"Mencari di tempat mana pun. Setidaknya, itu lebih baik daripada hanya diam tak melakukan apa-apa." Kakiku mulai menaiki anak tangga, dilanjutkan dengan merangkak memasuki lorong-lorong tungku perapian.

Keadaan di luar terlihat jelas. Tidak ada yang berubah. Keadaan masih kacau. Rerumahan hanya menyisakan abu arang bekas pembakaran. Udara yang bercampur asap terasa begitu pekat di hidungku.

Aku memulai pencarian. Di hutan, di kawasan istana, di mana pun. Hingga siang hari tiba, aku tetap tidak menemukannya. Beberapa iblis juga tampak berjaga di sekitaran, semakin menyulitkanku. Kulihat istana peri juga telah dikuasai oleh para iblis. Dunia peri saat ini telah berada di ambang kehancuran.

Aku menyandarkan punggung di sebuah batang pohon, mulai putus asa. Aku tidak akan bisa menemukannya jika terus seperti ini. Apa yang harus kulakukan?

Apa mungkin Miya dibawa ke istana iblis? Ataukah, ia dibawa ke istana peri yang sekarang diambil oleh para iblis? Jika benar pun, bagaimana caraku untuk masuk ke sana? Apa aku harus menyerahkan diriku? Karena bagaimanapun juga, Miya diculik karena aku. Ini semua salahku.

"Butuh bantuan?"

Aku memalingkan wajah. Senyum tipis terukir di wajahku. Sedih yang kurasakan sedikit berkurang ketika melihat teman-temanku ada di sini.

"Kita akan cari bersama-sama." Johan melanjutkan, diangguki oleh yang lainnya.

Napas berat berhembus dari mulutku. Aku membangunkan tubuh. Aku beruntung memiliki teman-teman seperti mereka. Terlebih lagi Melllius, Marc, Bax, dan juga Rack. Mereka memang tidak mengenal Miya, namun mereka tetap bersikeras untuk membantu.

"Tunggu! Ada buah apel yang berbuah di pohon ini. Kita bisa memakannya!" Perkataan Bax membuat suasana berubah seketika.

"Kau di sini ingin membantu atau hanya ingin mencari makan?" Melllius berkata kesal.

"Aku lapar. Lagipula, kita belum sarapan, kan?"

Melllius memutar bola matanya ketika melihat kelakuan Bax. "Bagaimana menurutmu, Al?"

"Aku setuju saja. Lagipula, aku memang lapar," balasku seraya tersenyum tak bersalah.

Dengan kekuatan yang kami miliki, mengambil beberapa apel bukanlah sesuatu yang sulit. Kami kemudian bernaung di bawah pepohonan sambil memakan buah apel sebagai pengganti sarapan.

"Ehhmm ... Aku sudah lama tidak makan apel, rasanya jadi lebih enak," ucap Bax dengan mulut yang masih penuh sesak.

"Jika kalian membantuku di sini, lalu bagaimana dengan kedua orang tuamu, Mellius?" tanyaku ketika teringat dengan mereka.

"Oh, mereka memang tidak ikut bersama kita. Tapi, Ayahku akan menyusul kita nanti. Masih ada hal penting yang harus ia lakukan, begitu ujarnya." Melllius menjawab.

Aku hanya bisa mengangguk pelan menanggapi perkataan Mellius.

Di saat suasana yang tenang itu, Marc tiba-tiba saja bertingkah aneh. "Tunggu!" Ia berteriak. "Sembunyi!" Tak ada hujan tak ada badai, ia berlari bersembunyi di balik pepohonan.

DuorbisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang