Filosofi Hati

401 8 0
                                    

     "Untuk apa pacaran? Demi apa pacaran? Mengapa kamu pacaran? Manfaat apa yang kamu peroleh dari pacaran? Sama sekali nggak ada!"


     Aku diam. Duduk tegak layaknya garuda wisnu kencana yang menumbukkan mata pada perempuan berhijab di depan kelas. Mendengar deru pacu kata demi kata perempuan religius yang kini tengah berdiri di depan kelas. Berkoar membuka acara islami sederhana untuk mengisi kekosongan menit-menit tatkala para adam sujud berjamaah di Jumat tanpa syahwat.

"Kita cewek, perempuan. Sekarang aku tanya.. Siapa sih yang paling dirugikan ketika kita berpacaran?" ujar seniorku lantang saat memresentasikan projeknyda dalam proyeksi layar putih lebar yang terbentangkan di dinding depan.

"Kita!" Sahut kami serempak.

Perempuan kuning langsat itu tersenyum samar. Kalakian bertanya pelan, "Lalu, kenapa kamu masih mau pacaran?"

     Untuk beberapa detik, hanya terdengar jawaban yang bertalun dalam ganglia. Hingga seorang yang duduk paling depan menjawab, "Karena pacaran itu nggak pernah tersebutkan dalam firman, sabda atau riwayat apapun dalam Islam, kak!"

     Sudut-sudut bibir perempuan itu tertarik lagi. Dengan sesirat geli yang terselip dalam gurat lipatan dahinya. "Tidakkah kamu berfikir, wahai akhwat? Adam yang mengejar kita hanyalah menuntut birahi semata. Mereka terbutakan oleh nafsu. Bahkan tak jarang mereka mengedokkan 'taubat' dalam aksinya. Coba lihat! Selama ini, bukankah kita selalu menjadi pihak yang selalu mendapat imbas buruknya?" Sunyi sekejap menghampiri-lagi. Aku dan barisan kawan kelas ini termangu dalam jabaran cuap demi cuapnya. Kemudian ia berucap, "Kita berharga. Wanita ialah pengrupa perhiasan. Allah telah memberi wadah spesial bagi wanita hingga kita harus benar-benar menjaganya hingga waktu yang tepat tiba."

     Sekali lagi, aku bergidik. Meski aku belum pernah merasa warna-warni berhubungan dekat seperti itu, membayangkan hal-hal yang tersuarakan oleh bibirnya jujur buatku merenung. Benar, tak dapat disangkal sebelum aku mengikuti kelas agama ini hati masih merasa ingin dimiliki dan memiliki. Setidaknya aku ingin menyesapi manisnya kata tersebut dalam nyata yang tertangkap virtual oleh kedua-belah pihak. Bukan sendiri yang jatuh hati tanpa seorang pun yang siap merengkuh diri.

     Buru-buru perempuan penyadar batinku itu menyambung, "Rasa itu pasti ada. Tapi pacaran? Cuma nafsu yang mewakilkan kata tersebut." Rasa? Cinta? Hati? Lalu aku tak sungguh-sungguh mendengarkannya lagi. Neuronku mengimpuls sisa memori yang baru saja menakhlikkan fragmen konversasi beberapa jam yang lalu. Membumbung srebrum dalam filosofi baru yang tak pernah kukira sebelumnya.

***

"Jodoh, adalah saat kamu merupakan bagian hidup dia dan dia merupakan bagian hidupmu. Saling mengisi, melengkapi dan mengerti."

Aku masih tak mengerti.

     Duduk di kursi guru, menghadap pada seorang wanita paruh baya kalem di sampingku, berada dalam satu bimbingan.. Entahlah. Berbagi kisah dengan seorang guru konseling di sekolah adalah kali pertama bagiku. Ini aneh. Sebelumnya setiap aku bercerita dengan kerabat dekat yang timbul bukanlah kegamangan, namun mengapa kali ini berbeda?

"Perasaan itu nggak tentu. Yang hari ini kamu sayang banget, bisa aja besok malah berbalik benci. Bukannya Tuhan memang memberikan rasa pada kita dalam itu tiba-tiba?" Sekonyong-konyong, kufilter rangkaian kalimat yang baru saja tercetuskan oleh beliau. Bu Ning, selaku mentor psikis sekolahku baru saja memberikan hal asing dalam tangkupan anteriorku. Ini salah. Bukan. Aku tak bisa menerima prinsip ini.

     Perasaanku berbeda. Aku tahu hal ini sejak pertama kali menangkap getar abnormalnya. Hatiku bukan tak menentu. Aku telah menetap. Tersekap dalam sosok pujangga sebegitu dalamnya hingga aku pun mendebat, "Tapi mengapa saya sering ngerasa 'sakit' ya, bu, kalau ngerapalin nama dia dalam doa?"

     Wanita berhijab itu mengulum senyum samar, "Mengapa harus sakit? Suka itu nggak perlu dipaksa. Hal wajar itu. Dari sana, rasa bisa berubah menjadi cinta. Dan tahukah kamu bagaimana seorang remaja yang memikirkan cinta? Orientasi fikirannya akan terpusat pada hal tersebut lalu ia pun mulai mengimajinasikan hal-hal yang mungkin akan ia lakukan bersama orang yang ia cintai. Sampai hasrat untuk mendapatkan keinginan tersebut membuat kita terdorong untuk memilikinya. Bukankah ironi jika kita hanya mencintai lantaran untuk merasakan hal-hal manis duniawi tersebut?" Wanita itu menghela nafas sesaat, lalu menggumam pelan, "Cinta itu haruslah ikhlas. Tulus dari hati tanpa mengharap apapun dari yang kita cintai."

     Aku terpaku. Tak dapat mengungkapkan apapun. Teori ini buatku beku. Sepersekian detik dendrit dan neuritku pun deras mengimpuls hingga terkoneksi benar seluruh informa. Beliau benar. Sangat benar.

"Sekarang pertanyaannya, memang seseorang itu juga mau berhubungan dekat seperti itu dengan kita? Kita nggak punya hak untuk mendorong dia mau. Lagipula, apa kamu masih beranggapan bahwa berpacaran akan membuat kita termotivasi belajar? Tidak nak. Sangat tidak berpengaruh. Sepanjang saya membimbing siswa di sini, yang ada pacaran hanya akan membuat kita tidak konsenterasi terhadap pelajaran. Nilai kita merosot. Cita-cita tak tercapai lalu hidup menjadi berantakan. Naudzubillah."

     Lagi, aku termenung. Menelaah kata demi kata penjabaran seorang wanita berpengalaman di hadapanku dalam ketidaktahuan dengan kata-kata O besar yang terucap. "Tapi, Bu, saya sudah cinta. Kalau misalnya saya mau menunjukkan rasa suka.. Harus bagaimana?"

     Kembali, ia tersenyum. Hangat dari sebelumnya, "Jadikan ia motivasi. Gali potensi diri. Urusan hati sungguh dapat mendorong kita untuk berbuat lebih. Tunjukkan pada ia bahwa kita hebat." Lalu akupun mengangguk mengerti dan berniat untuk bertanya lagi.

     Namun, sebelum sempat membuka katupan bibir, buru-buru wanita dengan tahi lalat di hidung itu menanggapi, "Bentar, tadi kamu bilang.. menunjukkan rasa suka?" Kemudian aku mengisyaratkan 'iya' dan beliau pun membenarkan posisi duduknya. "Nak, kita orang timur. Perempuan pula. Sungguh tak bernilai harganya apabila kita menyatakan cinta pada seorang lelaki yang kita sukai. Ingat, perasaan bisa berubah begitu saja. Kamu masih duduk di bangku SMA. Perjalananmu masih panjang. Akan ada banyak orang yang akan kamu temui di luar sana. Perasaanmu, pasti juga akan berubah, kan? Jangan terlalu menggebu." Ujarnya panjang lebar. "Jika cinta, jangan dikatakan. Cukup tunjukkan melalui perbuatan bahwasanya kamu adalah perempuan hebat yang pantas ia kejar sebagai wanita layak pendamping hidupnya. Percayalah, itu akan membuat hidupmu jauh, jauh, jauh lebih indah."

     Kembali, aku mengangguk mantap. Beliau menjawab seluruh tanya-tanya dalam batinku selama ini. Tatapannya buatku sadar, kicauan bijaknya buatku mengerti, bimbingan ini sungguh meringankan hati. Sungguh, ini kali pertama aku bisa tersenyum ringan. Seringan benak yang melepas serangkaian tanya hati pengakar kemunduran kapabilitas diri.

Aku sungguh bahagia hari ini.

***

"Tidak ada yang lebih indah dari mencintai-Nya. Apapun yang kamu harapkan dari Tuhan pasti akan terkabulkan dalam kurun waktu yang hanya ia yang tahu. Tapi kalau mengharapkan dari seseorang sesama manusia yang kita cintai? Duh, cuma berbuah kecewa!" Ujar kakak penyaji yang masih militan berdiri menutup presentasi.

     Bicara tentang hati dan perasaan, memang tak ada habisnya. Memoar filosofi perasaan, hati dan harga diri dari seorang ibu kedua di sekolahku masih membekas tajam dalam Anteriorku. Ditambah dengan cakapan demi cakapan yang tersuara dari balik katup mungil wajah kakak seniorku. Aneh memang, secuil rasa hati dapat mengrupa sebuncah semangat diri untuk lebih mengembangkan intensitas kompetensi. Itukah yang disebut cinta sejati?

Enyahlah. Aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin menggapai mimipi.

Penulis: Ruri Alifia R

antologi cerpen remaja islamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang